Tempo.co – La Nyalla Mattalitti, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur sekaligus Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, tidak memenuhi panggilan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Senin, 21 Maret 2016. La Nyalla diwakili oleh kuasa hukumnya, Ahmad Riyadh, yang mendatangi Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Riyadh menolak diwawancarai. Dia hanya menunjukkan surat permohonan penundaan pemeriksaan. Penundaan itu karena menunggu putusan praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka atas nama La Nyalla. Menurut Riyadh, pengajuan praperadilan tersebut untuk mendapat kepastian hukum.
Kepala Seksi Penyidikan Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Dandeni Hendrayana mengatakan permohonan praperadilan tidak menghentikan pemeriksaan kejaksaan. Berdasarkan KUHAP, kata Dandeni, proses praperadilan tidak mengganggu proses pemeriksaan.
Namun, Dandeni menambahkan, untuk pemanggilan selanjutnya belum bisa dipastikan. “Pemanggilan selanjutnya kita lihat nanti. Ini kan surat permohonan penundaan baru kami terima,” ujar Dandeni.
Pada 17 Maret 2016, La Nyalla ditetapkan sebagai tersangka atas kasus korupsi penggunaan dana hibah untuk pembelian saham perdana Bank Jatim pada 2012. Berdasarkan hasil pemeriksaan kejaksaan, La Nyalla menggunakan dana hibah untuk pembelian saham itu sebesar Rp 5,3 miliar. Sedangkan keuntungan yang didapat Rp 1,1 miliar.
Sehari kemudian, 18 Maret 2016, 12 orang kuasa hukum La Nyalla mengajukan praperadilan. Mereka tidak terima kliennya ditetapkan sebagai tersangka. Alasannya, Pengadilan Negeri Surabaya telah memutus praperadilan yang diajukan Wakil Ketua Umum Kadin Jawa Timur Bidang Kerja Sama Perdagangan Antarprovinsi Diar Kusuma Putra.
Berdasarkan putusan praperadilan pertama terkait dengan kasus dana hibah yang dibacakan Pengadilan Negeri Surabaya, 3 Maret 2016, segala penyidikan terkait dengan dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur dihentikan. Sebab, kasus dana hibah itu sudah diperiksa dan diputus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Desember 2015.
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Desember 2015 menghukum Diar satu tahun dua bulan penjara dengan denda sebesar Rp 100 juta, serta harus mengembalikan uang negara sebesar Rp 9 miliar. Sedangkan Nelson divonis 5 tahun 8 bulan penjara, denda Rp 100 juta, serta wajib membayar ganti rugi Rp 17 miliar.
(Kongres Advokat Indonesia)