Menemukan Lembaga Adat Dalam Peradilan Pidana - Kongres Advokat Indonesia

Menemukan Lembaga Adat Dalam Peradilan Pidana

Suatu Maghrib selepas rutinitas kantor, umumnya hanya makan malam dan kopi, tapi bagi kami passion dan insight bukan hal yang terlalu melelahkan, malah menjadi bagian dari anasir di setiap warung kopi dimana pergerakan dan pemikiran seringkali menanamkan embrionya, melampaui norma dan protokol formal, pertemuan ngopi yang sempat terjeda lama itulah yang bernilai, disana, teman saling mengingatkan. Ternyata, kerangka diskusi kami ini sejak Agustus 2024, tahun lalu. Kembali kami bercerita.

Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat mestinya juga mengupayakan sinkronisasi antara KUHAP dengan KUHP, pondasi kebernegaraan, terutama aspek konstitutif, bahwa hukum harus merupakan hasil dari proses-proses yang dilandasi kehendak rakyat atau masyarakat.

Tercatat beberapa basis normatif masyarakat hukum adat, antara lain Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Pasal 10 UU Nomor 19 tahun 1948 yang dihapus tapi diganti dengan UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951.

Saat ini, Pasal 2, pasal 12 ayat (2) dan pasal 601 KUHP Nasional mengemukakan bahwa asas legalitas tidaklah mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat. Ditekankan juga sebagai penjelasan bahwa, “Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum pidana adat. Kompilasi ini memuat mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat yang dikualifikasi sebagai Tindak Pidana adat.”

Keberadaan Perda tidak lain hanya penegas dan kompilasi yang menetapkan delik, tidak sekali selesai melainkan upaya berkelanjutan, konsekuensinya kompilasi bersifat aktif terbuka untuk menerima apa yang harus ditetapkan dari apa yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat hukum adat.

Bahkan disebutkan, “Keadaan seperti ini tidak akan mengesampingkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas…”, artinya, KUH Pidana Nasional tidak lagi sepenuhnya berpegang pada asas legalitas, akan tetapi juga asas hukum yang hidup.

Dalam demokrasi, mayoritas berkuasa mengatur sesuai kehendaknya, tapi diruang konstitusi, kepentingan si minor harus dilindungi dari kehendak si kuat, inilah prinsip republik.

Kritik Untuk Positivisme 

Teori Existential Moment yang berpedoman pada asas legalitas rumusan von Feuerbach melalui adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, menyatakan, suatu aturan baru dapat dikatakan sebagai suatu hukum bila aturan tersebut telah ditetapkan.

Berakar dari zaman Romawi, diantaranya crimen stellionatus sebagai perbuatan jahat. Crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja. [Moeljatno, 2015: 26]

Demikian juga Rene David mencatat bahwa KUHP peninggalan Hindia Belanda berasal dari keluarga/sistem hukum Kontinental yang disebut dengan istilah the Romano-Germanic Family. [Rene David, John E.C. Brierley, MajorLegal Systems in the World Today, (London, Stevens S Sons, 1978) hal. 24]

Jangan sampai kriminalisasi menjadi sarana untuk mencegah dilakukannya perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut kepentingan pembentuk UU yang akhirnya melunturkan asas triaspolitica sebagaimana terjadi di beberapa negara [https://jdih.mahkamahagung.go.id/download-file-satker/pemberdayaan-hukum-yang-hidup-dalam-masyarakat-living-law-sebagai-alternatif-penyelesaian-perkara-di-luar-pengadilan-transaction-out-of-judiciary diakses 02/04/2025, 1.05 WIB], karena ternyata Jaksa dapat memberikan sanksi.

Penegak hukum menjadi lembaga inkuisisi yang menyelidiki dan menghukum mereka yang dianggap menentang, sebagai alat accusator pemerintah untuk penuduhan, pemutakhiran era raja-raja Romawi.

Kepastian hukum oleh Gustav Radbruch dimaknai sebagai kondisi hukum yang berfungsi sebagai peraturan yang ditaati dengan parameter kejelasan norma. Seringkali bersanding dengan mahzab historis yang menempatkan kedudukan pengadilan pada keadaan pasif, dan hakim hanya corong UU, menutup ruang berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat.

Membangun asumsi, bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non-hukum, termasuk moral. Konsepsinya tentang hukum sebagai perintah (negara/penguasa) dalam bentuk UU yang mereduksi kekuatan lain membuat aturan tandingan, dikenal sebagai positivisme, sungguh paranoia.

Kritik dari Satjipto bahwa, setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. [Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, 2009:5]

Hukum untuk manusia, manusia sebagai penentu dan titik orientasi hukum yang bertugas melayani manusia bukan sebaliknya. Proses perubahan ada pada kreativitas pelaku hukum dalam menghadirkan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat, bukan peraturan dengan harga mati.

Von Savigny berpandangan bahwa hukum adalah jiwa rakyat oleh karena itu hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volksgeist harus dipandang sebagai hukum kehidupan sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, ia harus ditemukan. [Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak, Markus Y. Hege, Teori Hukum, strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2013, hal. 94]

Identik, Eugen Ehrlich meyakini hukum telah ada sejak masyarakat itu ada, serta lahir dari kesadaran masyarakat akan kebutuhannya, memisahkan secara tegas antara hukum positif legalistik dengan hukum yang hidup.

Pertemuan Antar Kutub Hukum

Disepakati, tidak ada peraturan yang sempurna dengan sifat statis dan rigid sebab interaksi manusia selalu berkembang, sebagaimana ungkapan hukum tertulis selalu tertinggal dari peristiwanya.

Kelemahan pembentuk UU dalam menghadirkan UU pada waktunya adalah alas bagi hakim untuk berperan dalam memaknai UU pada situasi baru, apalagi dalam hukum adat banyak aturan yang tidak tertulis sebagai norma, turun-temurun, dan dapat berubah sesuai dengan dinamika sosial dan keputusan komunitas.

Secara konseptual, sebelum ada penetapan aturan menjadi hukum positif Hukum Adat sudah lebih dulu ada, lahir, hidup, dihormati, serta berlaku. Dengan demikian, petugas penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat harus bisa mengelola integrasi hukum adat dari Masyarakat Hukum Adat kedalam sistem hukum nasional untuk mewujudkan rasa keadilan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu, untuk menemukannya harus mencarinya pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.

Menarik diperhatikan ajaran Freirechbewegung, bahwa kodifikasi itu tidak mungkin lengkap, sebagai subordinatie maka UU bukanlah tujuan bagi hakim tetapi sekedar sarana dalam mengejawantah keadilan dengan kewenangan menyimpangi UU, selain sebagai penafsir UU juga sebagai penggubah hukum, inilah yang melahirkan hukum sebagai sistem terbuka yang dikatakan Scholten.

Sebagian ahli berpendapat, jika hukum adat dilembagakan dalam bentuk tertulis oleh kekuasaan negara maka selalu tidak realistis, tidak lengkap dan selalu tertinggal, sehingga dinyatakan bahwa bentuk hukum bukan sebatas UU, namun juga pada putusan hakim dan tindakan-tindakan yang dilakukan dan diputuskan pelaksana hukum.

Oleh karenanya, kehakiman harus menjawab kebutuhan atas institusi dengan judicative power. Kekuasaan yang bertugas menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum) dengan suatu lompatan penalaran secara logis pada suatu penilaian, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat diakomodasi dalam pertimbangan dan/atau putusan pengadilan.

Sebagaimana Prinsip Siracuse 1981 tentang independensi kehakiman yaitu memutuskan suatu masalah sesuai dengan fakta yang ditemukannya dan pengertiannya mengenai hukum, juga peradilan independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif terhadap semua hal yang berkaitan dengan hal-hal di bidang peradilan.

Dan, Standar New Delhi 1982 menyatakan bahwa, individu hakim harus memiliki independensi personal dengan jaminan tidak berada di bawah kendali eksekutif. Dan, independensi substantif yang menjalankan fungsi yudisialnya sebagai hakim hanya tunduk pada hukum dan hati nuraninya.

Critical Legal Studies di Inggris tahun 1984 menemukan bahwa terdapat jurang antara hukum dalam teori dengan hukum dalam kenyataan, dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Berkembang kemudian dengan upaya rekonstruksi realitas sosial yang baru.

Relevan, Lilik Mulyadi mengatakan bahwa tujuan dari sanksi adat ini adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang hilang dalam dunia alami dan mistis, sehingga menciptakan kembali suasana yang religius dan magis. [Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya, Laporan Penelitian, (Jakarta: Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung, 2010)]

Mengutip Nonet-Selznick, hukum progresif memiliki sifat responsif, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan.

Sepanjang yang dikenali bahwa Hukum dalam masyarakat Adat lebih pada kepastian berhukum yang mengandung keadilan, kemanfaatan dan kemanusiaan, memastikan bahwa prosesi adat berjalan.

Landasannya adalah tentang peristiwanya, siapa pelaku, siapa korban, apa hukumnya, bagaimana menghukumnya. Disamping itu, yang dipercaya untuk membentuk hukum adalah pemangku adat, dimana tingkatan sosial ada sebagai keyakinan.

Seperti cita hukum yang dinamis, menyelami rangkaian peristiwa dimana seringkali dalam bentuk cerita, sebab tidak dikenal norma selain nilai-nilai etis yang hidup, etiket dan adab. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas legalitas, sebab hukum dalam masyarakat Adat justeru mempunyai banyak analogi dan fiksi, harapan kedepan, dimana hukumnya inheren dengan etika, tidak terpisah.

Secara sistematis tekstual, dalam konteks peradilan pidana, kelembagaan Adat harusnya ada sejak sektor hulu, pada penyelidikan dan gelar perkara yang menentukan ada/tidaknya unsur pidana. Pembentuk UU tidak boleh mengurangi kewenangan Hakim di hilir untuk menerima dan mempertimbangkan hukum diluar kompilasi.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024