Pasca viral di berbagai media soal aksinya di pengadilan, Firdaus Oiwobo dipecat dari organisasi advokatnya, yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang berujung pada pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS)-nya oleh Pengadilan Tinggi Banten serta Razman Arif Nasution oleh Pengadilan Tinggi Ambon.
Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, menegaskan bahwa pemecatan advokat oleh organisasi advokat, apapun organisasinya, harus dilakukan secara hati-hati melalui proses yang adil dan sesuai prosedur. Ia mengkritisi pemecatan advokat yang dilakukan tanpa sidang etik, yang menurutnya merupakan tindakan yang tidak adil.
Tjoetjoe menekankan bahwa dalam kasus dugaan terjadinya pelanggaran etik yang dilakukan oleh advokat di ruang sidang, pengadilan seharusnya mengajukan pengaduan kepada organisasi advokat terkait.
Organisasi advokat kemudian menindaklanjuti pengaduan tersebut dengan menyerahkan prosesnya melalui Dewan Kehormatan Daerah dengan membentuk Majelis Sidang Etik yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili pengaduan tersebut, serta memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada advokat yang bersangkutan untuk membela diri.
Lebih jauh, terhadap putusan Majelis Etik tersebut, kepada advokat teradu diberikan kesempatan untuk melakukan upaya banding bila putusannya dirasa tidak adil dan tidak sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan etik.
Adapun jika setelah proses banding advokat tetap dinyatakan bersalah dan diberhentikan dari profesinya, organisasi advokat tersebut akan mengirimkan surat kepada Mahkamah Agung (MA) untuk menonaktifkan akun advokat tersebut pada aplikasi ecourt MA.
“Seharusnya prosedur seperti itu diterapkan. Namun, dalam kenyataannya, proses ini tampaknya tidak diikuti secara benar. Bisa jadi, ada unsur subjektif dalam pengambilan keputusan. Banyak pelanggaran hukum lain yang tidak ditindak secara serupa,” ujarnya saat ditemui Hukumonline, Rabu (19/2).
Kemudian, ia menyoroti kasus Razman dan Firdaus Oiwobo yang dipecat tanpa melalui pemeriksaan etik yang seharusnya dilakukan oleh organisasi advokat. Menurutnya, organisasi advokat memiliki kewajiban untuk memeriksa anggotanya sebelum menjatuhkan sanksi, bukan hanya berdasarkan opini publik atau tekanan dari pihak luar. Jika tanpa melalui itu, seperti advokat yang tiba-tiba dipecat tanpa melalui proses sidang etik, ia berkata keputusan tersebut harusnya batal demi hukum.
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap dari profesi tanpa dilakukan pemeriksaan melalui sidang etik, itu adalah kejahatan terbesar dalam profesi ini.” ujarnya.
Selain itu, ia juga mengkritisi putusan pengadilan tinggi yang mencabut Berita Acara Sumpah (BAS) secara langsung. Menurutnya, yang seharusnya dicabut adalah izin praktiknya, atau SK pengangkatan advokatnya, bukan BAS nya. Ia membandingkannya dengan profesi dokter, di mana jika seorang dokter melanggar etik, maka izin praktiknya yang dicabut, bukan sumpahnya.
“BAS merupakan janji kita kepada Tuhan, yang kebetulan dicatat oleh pengadilan. Sama seperti seorang dokter yang mengucapkan sumpah sebelum menjalankan tugas profesinya, begitu pula dengan seorang notaris dan berbagai profesi lainnya. Jika terdapat pelanggaran etik, yang dicabut seharusnya bukan BAS-nya. Sebab BAS itu hanya mencatat suatu peristiwa. BAS itu melekat pada surat izin praktiknya,” tegas dia.
Ada pelajaran berharga yang patut dicontoh oleh Institusi Penegak Hukum lainnya, yaitu ketika 9 Hakim Mahkamah Konstitusi mengadukan Adv. Prof. Denny Indrayana kepada Kongres Advokat Indonesia (KAI) karena dugaan melakukan pelanggaran etik profesi advokat.
Menurutnya, langkah yang ditempuh oleh 9 Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut dengan mengadukan advokat yang dianggap melakukan pelanggaran etik, ke organisasi advokat dimana dia bernaung adalah langkah yang sangat bijak dan tepat. Sehingga pada akhirnya Dewan Kehormatan KAI membentuk Majelis Etik untuk memeriksa yang bersangkutan.
“Pencabutan BAS bukan langkah yang tepat. Jika seorang advokat diduga melanggar etik, seharusnya pengadilan mengajukan pengaduan kepada organisasi advokat agar diperiksa melalui sidang etik,” ucapnya.
Selain itu, Tjoetjoe juga menyoroti ketidakjelasan mengenai jangka waktu pembekuan BAS advokat. Menurutnya, pembekuan itu berbeda dengan pencabutan, yang mana kalau pembekuan harus ada batas waktunya.
“Ingat, memberhentikan advokat dari profesinya itu seperti orang dihukum mati. Bisa saja dari profesi ini seseorang menghidupi ibunya yang sudah renta, menghidupi anak dan istrinya, menyantuni anak-anak yatim dan lain sebagainya,” kata Tjoetjoe.
Tjoetjoe mengaku tidak spesifik bicara mengenai kasus Razman, Firdaus dan Hotman, tetapi dirinya membahas advokat secara umum. Kasus mereka, kata dia, hanya trigger semata untuk membenahi dunia advokat di masa yang akan datang.
“Saya tidak membenarkan tindakan Firdaus, tetapi saya menentang cara-cara penanganannya yang tidak sesuai dengan prosedur. Tidak seharusnya seseorang dihakimi tanpa proses yang adil. Penegakan hukum harus berdasarkan prinsip due process of law,” tegas dia.
Hingga kini, kelanjutan proses hukum di kepolisian terhadap kasus ini masih belum diketahui. Meskipun sudah dilaporkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, perkembangan lebih lanjut belum terlihat.
“Jika melihat kondisi penegakan hukum saat ini, terutama perlakukan terhadap profesi advokat, saya merasa hampir kehilangan harapan. Penegakan hukum etik di dunia advokat masih membutuhkan banyak perbaikan,” tambahnya.
Terkait perpindahan advokat antar organisasi, Tjoetjoe menjelaskan bahwa advokat yang dijatuhi sanksi oleh organisasi advokat tertentu, sepanjang belum dinyatakan inkracht atau berkekuatan hukum tetap, advokat tersebut dapat bergabung dengan organisasi advokat lainnya, sepanjang organisasi advokat yang baru, menerima.
“Kalau dijatuhi sanksi dengan cara yang tidak adil, dia boleh menolak. Dia bisa banding. Seperti yang terjadi pada beberapa advokat sebelumnya, mereka bisa pindah organisasi. Itu hak mereka,” jelas Tjoetjoe.
Dengan adanya kasus ini, Tjoetjoe mendorong agar rencana pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) sebagai lembaga regulator tunggal (single regulator) organisasi advokat di Indonesia bisa segera diwujudkan.
DAN adalah jalan tengah dari dua sistem yang saat ini dianut oleh para advokat di Indonesia, yaitu single bar dan multi bar. Kedua sistem ini nyata-nyata telah gagal untuk dipertahankan pemberlakuannya.
“Ini bukan lagi perdebatan tentang single bar dan multi bar, karena keduanya terbukti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kini, format baru yang diperlukan adalah regulator tunggal dengan organisasi advokat yang tetap hidup di bawahnya, mirip dengan sistem Komisi KPU yang mengawasi banyak partai politik,” ungkapnya.
Melalui kasus Razman, Firdaus, dan Hotman Paris, Tjoetjoe berharap pemerintah benar-benar menjadikan ini sebagai momentum untuk membenahi dunia advokat. Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran diharapkan mulai memikirkan langkah konkret untuk menyelesaikan permasalahan dalam dunia advokat.
Sebagai penutup, Tjoetjoe mengingatkan kepada rekan-rekan seprofesinya agar dalam memperkenalkan diri kepada masyarakat melalui media masa dan media sosial, harus tetap memperhatikan sopan santun dan etika. Ia mengharapkan agar para advokat bisa solid dan kompak, serta tidak saling menyakiti sesama rekan sejawat. HUKUMONLINE