Leiden: Melihat Indonesia Dengan Advokat (Bag. II) - Kongres Advokat Indonesia

Leiden: Melihat Indonesia Dengan Advokat (Bag. II)

Tidak hanya melalui demonstrasi, orasi, atau konferensi, pesan-pesan politik dapat disampaikan secara halus tanpa kronfrontasi frontal.

Hatta menuliskan kalimat Mr. Achmad Soebardjo berbicara di Berlin pada sebuah forum kongres anti-imperialismenya di Brussels dalam sepenggal artikel di Indonesia Merdeka, “…suatu hal yang tidak dilakukan terhadap negeri-negeri lain. Lebih dari kapanpun, Indonesia sekarang terkenal dan dikenal oleh masyarakat dunia. Bersama wakil bangsa-bangsa lain yang terjajah dan tertindas kita telah mengembangkan ikatan persahabatan yang akan tetap besar nilainya sampaih jauh di masa depan” [Poeze, 2008: 208].

Achmad Soebardjo yang kelak sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia dalam pemerintahan Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Dia yang bertaruh nyawa kepada para golongan muda yang menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, diantaranya Soekarni, Wikana, Aidit, dan Chaerul Saleh dari perkumpulan Menteng 31.

Bersama Soedirman, Gatot Soebroto, dan Sudirman, merencanakan dan melaksanakan operasi penyelamatan dan menjemput Soekarno dan Hatta ke Jakarta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, mengusulkan penyusunan naskah proklamasi agar dirumuskan di rumah Laksamana Maeda bahkan melobinya.

Kembali ke pokok, Pemerintah Belanda khawatir dengan propaganda kemerdekaan Indonesia oleh PI yang semakin meluas dan juga terhadap hubungan antara organisasi itu dengan gerakan komunisme Indonesia dan internasional, lalu mengambil tindakan represif dengan tuduhan subversif dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Juni 1927 rumah para anggota PI di Leiden dan Den Haag digeledah oleh kepolisian Belanda, mengobrak-abrik rumah, kamar demi kamar, lemari demi lemari, untuk mencari dokumen perjanjian rahasia Hatta-Semaun [Sastroamidjojo, 1974: 53].

Perang Eropa membuat PI menjadi organisasi semi militer dan intelijen, terjaga dan terus waspada. Di Belanda, PI terbagi menjadi tiga kelompok besar di Amsterdam, Leiden dan Den Haag. Meskipun dampak politik langsung keterlibatan PI dalam gerakan antikolonialisme internasional mengakselerasi kemerdekaan Indonesia masih diperdebatkan, namun yang jelas keterlibatan internasional mereka dianggap sebagai ancaman oleh Kerajaan Belanda. [Goebel, 2015: 3]

Pemimpin Perhimpunan Indonesia merasa prihatin sekaligus cemas dengan simpati yang berkembang di Indonesia terhadap peran Jepang, menurut mereka rakyat Indonesia harus menyadari bahwa industrialisasi yang dijalankan Jepang juga sebagai langkah ekspansi kekuatan fasis ke selatan, termasuk Indonesia. 

Perubahan juga terjadi pada majalah terbitan PI yang semula bernama Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka dengan semboyannya “Indonesia merdeka, sekarang!”, dimana pada 1923 dilekatkan Deklarasi Perhimpunan Indonesia dalam muatan majalah tersebut.

Dalam buku Nazi di Indonesia [Nino Oktorino, R, 2015] disebutkan, PI banyak berjuang dengan jalan provokasi dan mengangkat senjata dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jerman di Belanda. Mereka juga menerbitkan majalah dan pamflet ilegal untuk tujuan propaganda.

Salah satu anggota PI, Rachmad Kusumobroto, terlibat dalam upaya membantu penyelamatan orang Yahudi dan Belanda yang diburu oleh Nazi. Mahasiswa hukum di Leiden ini membantu menyembunyikan anak-anak kaum Yahudi.

Cita-cita Perhimpunan Indonesia akan sebuah negara baru yang merdeka ditunjukkan dalam deklarasinya dengan menggunakan kata “Bangsa Indonesia”. Kemudian deklarasi tersebut berkembang menjadi manifesto politik pada 1925 dengan keyakinan bahwa untuk mengembalikan harga diri bangsa Indonesia hanyalah melalui kemerdekaan, inilah salah satu aksi yang paling dikenal yang membuat pemerintah Belanda merasa terancam.

Menurut catatan Nino Oktorino [2015] pada 15 Mei 1940, Belanda melemah pertahanannya dan jatuh ke tangan Jerman setelah Operasi Rotterdam Blitz membuat tentara Belanda tak bisa mempertahankan kedaulatan. Invasi Jerman terhadap Belanda berdampak pada kehidupan mahasiswa Indonesia di sana. Para mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam gerakan perlawanan, salah satunya mahasiswa dan pelajar anggota PI.

Catatan Di Dalam Negeri

Hal ini membuat para pejuang kemerdekaan di Hindia Belanda menjadi sadar pentingnya penerimaan atas keberagaman, kesadaran inilah yang memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada 1928 yang mendapatkan dukungan internasional dalam kegiatan-kegiatannya menentang penjajah.

Sartono sebagai salah satu tokoh pendiri PNI juga terlibat dalam Kongres Pemuda Kedua 1928, yang menelurkan Sumpah Pemuda. Ketika Bung Karno diajukan ke Landraad Bandung, tahun 1930 sekaligus menjadi salah seorang advokat/pembela utamanya. Hubungan Sartono dengan Bung Karno memang selalu dekat meski dalam konteks politik sering sekali bersinggungan.

Malahan, orang dibalik dwi-tunggal historis Soekarno-Hatta adalah Sartono. Dialah yang mempertemukan Bung Hatta saat baru tiba dari pembuangan di Banda Neira, dengan Soekarno yang berada di Bengkulu.

Kontroversi yang pernah dipicu oleh Sartono dalam Partai Nasionalis Indonesia (PNI) adalah ketika ia memprakasai pembubaran PNI, lewat Kongres Luar Biasa yang digelar 25 April 1931, 29 April 1931, Sartono memprakarsai pendirian Partai Indonesia (Partindo).

Mr Sartono yang kemudian menjadi Ketua Parlemen pertama, Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen Indonesia.

Juga, ada organisasi yang bernama Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang didirikan pada 17 Desember 1927 dengan Ketua terpilih adalah Iskaq, dengan sekertaris Anwari, 5 bulan setelah berdirinya PNI.

Sunario juga aktif saat digelar Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Sejak dua hari sebelum pertunjukan malam itu, Kongres Pemuda II sempat hendak dibubarkan pemerintah kolonial Belanda. Acara berjalan dengan pengawasan ekstra ketat oleh anggota-anggota Politieke Inlichtingen Dienst (PID), korps intelijen Belanda.

Mr. Dr. Kievit de Jong, Regeringsgemachtigde (Kuasa Pemerintah) sudah di tengah arena dengan pasukan PID-nya dan menolak ketika lagu “Indonesia Raya” akan diulang untuk kedua kalinya. Sebelumnya melodi lagu tersebut dimainkan oleh Wage Rudolf Supratman menggunakan biola dan peserta kongres bersama-sama menyanyikan liriknya.

Di tempat lain dalam ruangan kongres, Dina, gadis yang mewakili Jong Minahasa duduk bersebelahan dengan Arnold ragu terhadap Sunario. Dina berkata, “Apa dia bisa tuh melawan PID? Rasanya dia terlalu muda.” 

Majulah kemudian Sunario untuk menghadapi Kievit, keduanya lulusan dari perguruan tinggi yang sama, Universitas Leiden. Sebagai sesama ahli hukum, keduanya berargumentasi sangat kencang hingga berdebat. Tetapi Kievit harus menahan malu dengan kebenaran nalar Sunario ketika mengatakan apa yang diinginkan oleh pemuda Indonesia itu merupakan sesuatu yang sah dan diajarkan oleh Belanda kepada murid-muridnya sendiri.

Mr. Sunario Sastrowardoyo saat menjadi pembicara di Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta mengutip pemikiran filsuf Prancis, Ernest Renant, dalam artikel berjudul “Qu’est-ce Qu’une Nation”, ia tidak sepakat dengan konsep negara federal dengan memaparkan kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia. Bersama para Sarjana Hukum lainnya, Soegondo Djojopuspito sebagai Ketua Kongres Pemuda I, Mohammad Yamin mengusulkan naskah Sumpah Pemuda, Siti Soendari dan Amir Sjarifoeddin Harahap bendahara Kongres Pemuda II, sedangkan Sunario sendiri adalah Penasehat Kongres Pemuda II.

Umumnya, cakupan penulisan sejarah pergerakan Indonesia di awal abad ke-20 cenderung melakukan analisis terbatas di dalam negeri. Padahal, internasionalisme antikolonial pergerakan Indonesia di awal abad ke-20 lebih luas terhubung dengan gerakan nasionalis global Asia dan Afrika, komunisme internasional, dan di antara diaspora politik orang Indonesia itu sendiri, disinilah sebenarnya keterkaitan tentang bagaimana suara Indonesia didengar dunia internasional.

Terdapat banyak keterkaitan antara PI dengan berdirinya PNI, yang mana beberapa diantara pendirinya bergelar meester in de rechten atau sarjana hukum, yaitu Iskaq Tjokrohadisurjo, Sartono, Budiarto, Ali Sastroamidjojo dan Sunario.

Ketika orang bilang l’historie se repete, sejarah sering berulang dan bertransformasi dalam bentuk dan cara yang baru, namun tidak demikian dengan penulis, sejarah tak pernah berulang melainkan dibentuk kembali oleh sebuah kekuatan sebab ada yang belum selesai pada cerita mereka sebelumnya, dibutuhkan rumusan yang bisa jadi berbeda dari sebelumnya sebagai pelengkap untuk melakukan pembenahan.

Bahwa kesalahan mengelola Indonesia dan pemaparan akan sejarah di hari ini harus dipahami sebagai sebuah bentuk pengkhianatan dan penyimpangan sejarah terhadap cita-cita pergerakan the founding fathers Indonesia.

Beberapa nama yang penulis sebutkan sebelumnya menjadi jejak sejarah bahwa sebenarnya negara Indonesia ini dibangun dari ide-ide, darah, keringat para ahli-ahli hukum sarjana hukum Indonesia yang hampir tidak tercantum dalam banyak buku umum, kecuali kita menelusuri catatannya sendiri dengan telaten.

Mereka yang sangat aktif namun tenang bersahaja tanpa berusaha menonjolkan diri dengan karya-karya agung keberhasilannya untuk negara, yang hasil-hasilnya didompleng oleh manusia-manusia politik.

Ketika komunis sekedar menjadi propaganda musiman dari gegap gempita parade dan akrobasi politik, namun Advokat sebagai ahli hukum dan strategi penerapan hukum diterjemahkan sebagai lawan yang harus terus dijatuhkan setiap hari, sepanjang musim.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL 

Referensi saduran:

Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak Di Perjalananku, Jakarta : Kinta, Cet. 1, 1974

George McTurnan Kahin, Nasionalisme & revolusi Indonesia, Depok : Komunitas Bambu, penerjemah, Tim Komunitas Bambu, 2013

Harry A. Poeze, Tan Malaka, gerakan kiri, dan revolusi Indonesia, penerjemah, Hersri Setiawan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008

Hatta, Untuk Negeriku: Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi (vol. 1). Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011

John Ingleson, Perhimpunan Indonesia Dan Pergerakan Kebangsaan, Grafiti, 1993

Klaas Stutje, Indonesian Identities Abroad: International Enggament of Colonial Students in Netherlands 1908-1931, BMGN – Low Countries Historical Review, 2013

Marieke Blumbergen, Koloniale inspiratie: Frankrijk, Nederland, Indie en de wereldtentoonstellingen 1883-1931, Monograf, KITLV

Michael Goebel, Anti-Imperial Metropolis: Interwar Paris and the Seeds of Third World  Nationalism. Cambridge: Cambridge University Press, 2015

Nino Oktorino, Nazi di Indonesia-Sebuah Sejarah yang Terlupakan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2015

R.E. Elson, The Idea of Indonesia : Sejarah Pemikiran dan Gagasan, Jakarta, Jala Permata, 2009

Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta, Pustaka Jaya, Cetakan I, 1984

Wildan Sena Utama, Mempropagandakan Kemerdekaan di Eropa: Perhimpunan Indonesia dan Internasionalisasi Gerakan Antikolonial di Paris, Jurnal Sejarah. Vol. 1(2), 2018: 25 –  45

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024