Leiden: Melihat Indonesia Dengan Advokat (Bag. I) - Kongres Advokat Indonesia

Leiden: Melihat Indonesia Dengan Advokat (Bag. I)

Sekarang, mempunyai buku cetak sudah terasa sulit, atau minimal tidak menarik lagi seperti dulu ketika mencari ke toko bersama teman atau keluarga dengan antusias, memang masih bisa, tapi terasa sepi, saya masih setia dengan buku cetak bukan hanya sekedar koleksi ataupun bacaan biasa tapi dari perasaan begitu banyak kekurangan media internet, validitas tertutup dengan halaman-halaman yang sekedar berisi kutipan-kutipan saja yang dalam algoritma sibernetika berlaku sebagai pendapat atau kutipan terbanyak saja, entah yang terbaik, apakah benar atau bagaimana validitasnya.

Bermula dari serangkai frasa kalimat, yaitu sejak akhir abad ke-19 Belanda menjadi salah satu tujuan utama dari pelajar Indonesia untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Pada awalnya, sebelum Perang Dunia I, mayoritas orang Indonesia yang datang ke Belanda adalah putra raja- raja berada dan putra kaum bangsawan Jawa [Poeze, 2008: 58]. Mereka dikirimkan oleh orang tua mereka ke Belanda untuk memperkuat bahasa Belanda, mempelajari pengetahuan umum, dan mendapatkan orientasi mengenai negeri Belanda [Poeze, 2008: 58].

Saya berusaha menanggapi keingintahuan saya mengenai organisasi pergerakan nasional tersebut awalnya berdiri bernama Indische Vereeniging pada tahun 1908.

Mengubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (PI), ini adalah organisasi politik pertama yang menggunakan istilah “Indonesia”, ketika nasionalisme Indonesia menjadi pondasi sekitar tahun 1922, saat itu belum ada pengertian baku mengenai makna kata Indonesia.

Awalnya hanyalah perkumpulan mahasiswa biasa, yang secara radikal bertransformasi pada 1933 menjadi entitas politik yang gigih dan efektif yang menggalang mahasiswa-mahasiswa Indonesia agar bersatu melawan fasisme, terutama di era ketika Nazi-Hitler di Jerman menggetarkan Eropa hingga menduduki Belanda pada 1940.

Klaas Stutje (2016) dalam disertasi doktoralnya di University of Amsterdam membahas  aktivitas antikolonialisme PI di Eropa, ia memetakan aktivitas politik para pemimpin PI di kota-kota di Eropa dan bagaimana aktivitas itu memperluas jaringan internasional PI dengan organisasi antikolonial lainnya di Eropa. 

Didalamnya, Paris disebut sebagai pembuka jalan propaganda internasional PI di Eropa yang berdampak secara politis bagi pemerintah Belanda. Tanpa Paris, rasanya sulit PI dapat membangun kontak dan mengembangkan jaringannya dengan tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi antikolonial lainnya melalui pertemuan internasional, seperti Congrès Démocratique International pour la Paix di Bierville dan Congress Against Colonial Oppression and Imperialism di Brussels.

Pemikiran ilmiah Stutje berkelindan dengan Alan Lester yang mengatakan bahwa “subjek terjajah dapat dan mampu menempa jaringan perlawanan antikolonial baru yang membentang luas sama seperti imperial space”. [Stutje, 2013: 153]

Catatan Internasional dan Trans-nasional

Menurut Noto Soeroto dalam Bendera Wolanda tahun 1909, tujuan berdirinya organisasi perkumpulan pelajar Indonesia yang bernama Indische Vereeniging (IV) pada 1908 adalah untuk “memajukan kepentingan bersama orang Hindia di Belanda dan menjaga hubungan dengan Hindia Timur Belanda” [Poeze, 2008: 68]

Awalnya, terdapat usulan perhimpunan yang  didirikan  ini  menjadi cabang dari  Boedi  Oetomo, namun usul itu ditolak, sebab anggotanya tidak hanya orang Jawa saja tetapi semua suku di Hindia Belanda [Elson,  2009:  32;  Poeze, 2008: 68].

IV perlahan menyusun konsep yang lebih modern mengenai “identitas luas Hindia sebagai satu negara” dan “penduduknya sebagai satu bangsa di atas pengelompokan suku yang menyusunnya”. [Elson, 2009: 32]

Momen penting terjadi di akhir 1913 dengan kedatangan tiga eksil politik dari Indische Partij (IP): Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjiptomangoenkoesomo ke Belanda, mereka dikenal sebagai triumvirat IV. Ingleson [1993:2] yangmemengaruhi visi sosial-politiknya ke depan, mereka menyatakan “bersama dengan kedatangan ketiga pemimpin IP ke negeri Belanda, masuk pula konsep Indie los van Nederland (Hindia bebas dari Belanda) dan sebuah negara Hindia yang berdaulat diperintah oleh rakyatnya sendiri”.

Kesadaran politik itu juga yang kemudian menjadi alas pemikiran untuk menggubah nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging di tahun 1922 dan Perhimpunan  Indonesia di tahun 1925 dengan menggunakan terjemahan Melayu.

Ide tersebut kental dipengaruhi oleh ide self- determination dari Woodrow Wilson meski sempat kecewa dengan kegagalan ide Wilsonian yang tidak berpihak pada rakyat di dunia jajahan [Van Niel, 1984: 291].

Disisi lain, Moh. Hatta, Gatot Mangkupradja, Iwa Koesoema Soemantri, dan Soebardjo amat terpengaruh dengan ide Marxisme-Leninisme yang sedang naik daun baik di Eropa hingga Hindia-Belanda.

Selain itu, mahasiswa yang tergabung dalam PI ini juga berhubungan dengan tokoh komunis Indonesia yang mengaktivasi  pergerakandi Eropa, seperti Semaun, Darsono, dan Tan Malaka. Pemikiran Marxisme-Leninisme mempunyai daya tarik pada penjelasannya yang tajam tentang situasi penjajahan dan filsafat determinisme historisnya. Namun, sedikit sekali  yang melakukan analisa kelas dalam masyarakat Indonesia. Alih-alih mereka justeru lebih tertarik dengan analisis perjuangan ras, antara orang Indonesia berkulit coklat melawan orang Belanda yang berkulit putih, antara bangsa Asia melawan Eropa, atau kemudian dikenal sebagai perjuangan “sini lawan sana” [Ingleson, 1983: 7].

Bedasarkan catatan Kahin [2013: 122], meski para pemimpin PI memiliki orientasi Marxisme yang kuat, sedikit sekali yang menjadi  pendoktrin  ajaran  Marxisme 

Poeze juga menuliskan [2008: 174] bahwa dengan ketua baru Iwa Koesoema Soemantri organisasi ini mengemukakan tiga asas pokok yang menjadi pegangan tetap bagi Indonesische untuk tahun-tahun mendatang: kemerdekaan bagi Indonesia, self-help, dan perjuangan ke arah kesatuan.

Radikalitas asas perjuangan ini diimplementasikan melalui media propaganda mereka yang turut diganti namanya dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Dalam pendahuluan edisi perdananya menyebut bahwa perubahan nama ini mengungkapkan tujuan dan usaha dari organisasi ini, yaitu merdeka! Ditambah lagi kata Indonesia Merdeka diharapkan dapat menjadi semboyan yang menarik bagi pemuda Indonesia untuk berjuang mencapai kemerdekaan [lihat: Blumberger 1931: 187; Poeze, 2008: 175].

Salah satu artikelnya berjudul “Driehondederd Jaren Overheersching” (300 tahun penjajahan) yang menyebutkan bahwa organisasi ini akan berjuang dengan kekuatan sendiri “geen samenwerking met de overheerscher past ons!” (tanpa kerjasama dengan penjajah yang tidak sesuai dengan kita!) [Blumberger, 1931: 188]

Ketika basis jaringan internasional yang telah terbangun maka dimulailah inisiasi pergerakan, Ali Sastroamidjojo menuliskan [1974: 48], “mencerminkan kesadaran PI bahwa nasionalisme Indonesia tidak berdiri sendiri, faktor internasionalisme disadari sebagai unsur penting di dalam perjuangan kemerdekaan nasional!”.

Mr. Ali Sastroamidjojo, Peletak kedaulatan negara melalui Perjanjian Roem-Royen, dengan ujung tombaknya adalah Mr. Mohammad Roem yang merupakan para sarjana hukum, juga Dr. Leimena, Ir. Joeanda, Prof. Soepomo dan Johannes Latuharhary selaku utusan melakukan upaya hukum sebagaimana pengacara negara dalam kompromi. Padahal, saat itu sudah ada Kejaksaan dengan beberapa periode kepemimpinan, yaitu Mr. Gatot Taroenamihardja (12 Agustus 1945 – 22 Oktober 1945), Mr. Kasman Singodimedjo (8 November 1945 – 6 Mei 1946), Mr. Tirtawinata (22 Juli 1946 – 1951)

Diantara para tokoh pergerakan seperti Maramis menguraikan secara panjang-lebar dalam artikelnya yang mengatakan bahwa evolusi PI dari klub sosial menjadi gerakan nasionalis secara inheren berhubungan tidak hanya dengan kebangkitan nasional itu sendiri, tetapi juga “kebangkitan Timur” [Stutje, 2015: 202], Maramis merujuk kepada kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905, kebangkitan nasional (revolusi) Tiongkok 1911 dan India, serta berdirinya Boedi Oetomo dan Indische Vereeniging.

Selain itu, Revolusi Bolshevik dan “Wilsonian moment” juga memberikan pengaruh moral dan politik sangat besar bagi semakin radikalnya gerakan antikolonialisme di dunia jajahan.

Para mahasiswa terpelajar ini percaya bahwa mereka sedang “berada di ambang fajar zaman baru ketika bangsa Asia mulai menemukan tempatnya di dunia ini!” [Ingleson, 1993: 19], para mahasiswa yakin bahwa adalah sebuah mitos suatu negara Barat tidak dapat dikalahkan oleh negara Timur.

Pusat Gravitasi

Paris dipilih kemudian sebagai kota utama “pusat gravitasi” dari aktivisme internasional PI [Stutje 2013: 159], dengan pertimbangan merupakan “ibukota” dari aktivitas anti-imperialisme dan antikolonialisme yang bergairah di mana para aktivis dari berbagai mancanegara Asia, Afrika, Karibia, dan Amerika Latin tinggal di sana mengorganisir dengan aktif rapat dan pertemuan, menerbitkan majalah pergerakan, serta membangun jaringan antar sesama organisasi dengan minat serupa.

Ali Sastroamidjojo menceritakan pengalamannya ketika singgah di Paris saat menjemput istrinya dari Genoa, bahwa ide-ide progresif warisan dari Revolusi Perancis menjadi tradisi di negeri Perancis, itulah daya tarik bagi pemuda revolusioner dari negeri-negeri yang masih menderita kekejaman kolonialisme, juga pemuda-pemuda Indonesia, bahkan PI.

Selain Hotel du Progrès, Hotel Soufflot di 9 Rue Toullier adalah tempat menginap Soebardjo, Soepomo, dan Gatot Taroenomihardjo selama di Paris yang disebut oleh Intelijen Perancis sebagai “kantor politik” dari para mahasiswa Indonesia, juga sebuah bar kecil bernama Taverne Pascal yang berlokasi di 2 Rue École de Medecine.

Tempat tinggal sdr. Achmad Subardjo di Noordeinde No. 32, Leiden inilah kegiatan- kegiatan politik Perhimpunan Indonesia dibicarakan. [Ali Sastroamidjojo, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Jakarta: PT. KINTA, 1974, hlm. 38-39]

Ahmad Soebardjo pula yang kelak merumuskan teks proklamasi atas permintaan Soekarno dan Hatta.

Dalam catatan Stutje [2016: 89] kantor pos atau restoran Cina serta beberapa tempat pun menjadi alamat dari beberapa organisasi, membangun kerjasama dan cross-fertilisation antar kelompok politik dan kebangsaan yang berbeda. 

Hatta mencacatkan [2011: 228] bahwa Hotel Continental di Paris menampilkan tari Wireng Jawa yang mana Soepomo dan Wirjono yang merupakan mahasiswa hukum di Leiden, didapuk menjadi penarinya. Bagi PI, pertunjukkan ini bukanlah sekedar penampilan kebudayaan, mereka menyadari bahwa pertunjukkan kebudayaan ini menempatkan kebudayaan dan seni ke dalam wilayah politik. 

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024