Seperti biasa, agenda kopi siang sembari diskusi ragam permasalahan faktual, hukum dengan selingan geguyon pencair kebekuan dan kebuntuan menjadi tradisi di lantai 32 Gedung Sampoerna, Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia, bersama dengan beberapa personil Kantor Hukum Indolaw.
Siang itu, setelah agenda sholat Jum’at bergulir topik AdvoKAI Perempuan visavis dengan entitas Perlindungan Perempuan dan Anak secara internal.
Ah, tidak, sebetulnya diskusi ringan tapi sensitif soal topik ini sudah berjalan beberapa hari, ada Bunda Yayaq, mba Icha, teh Yanti, the Novi, mba Marni, dek Fajri dan Dilla serta beberapa kakak lainnya bergantian lalu lalang mengisi, asik banget.
Sedangkan saya dan mas Ibrahim, rasanya kurang mewakili suara kaum adam dalam paradigma ekstrem hehe, didukung cuaca yang cerah meski sedikit mendung tampak di arah Utara, angin sejuk membuat suhu tidak terasa sumuk ditambah kipas angin yang juga on, double setelah diutakatik mas Gio yang always ceria.
“Seperti sayap elang yang butuh kepak di kedua sisi tubuhnya”, kata mas Ibra sambil menirukan kepak sayap ala-ala elang dengan kedua tangannya disamping pundak, semua jari yang melambai intens keatas-bawah, dan lengan yang menekuk disamping badannya, saya pikir malah lebih seperti burung yang sedang latihan terbang, saya ikuti sambil tertawa kecil hi..hi..i
Tapi memang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tidak ada yang perlu didamaikan, seperti halnya kedua sayap tadi, satu bergerak profesional, litigasi- non litigasi dan lainnya secara simultan sebagai ajang advokasi, paradigma pendekatan di dua ranah yang memang berbeda sehingga dapat saling mengisi, berkelindan.
Perempuan Dan Advokasi
Pawiyatan Wanito di Magelang dan Wanito Hadi di Jepara berdiri sekitar 1915, Purborini di Tegal pada 1917, Wanito Susilo di Pemalang pada 1918, masih banyak lagi.
Basis keagamaan muncul seperti Sopo Tresno pada 1914 lalu menjadi Aisyiah bagian dari Muhammadiyah. Sarikat Siti Fatimah di Garut dan Yogya dengan nama Wanodya Utomo bagian dari Sarikat Islam pada 1920, bersalin menjadi Sarikat Putri Islam.
Merujuk pada perjuangan R.A Kartini pada 12 September 1912, Mangkunegaran VI mendirikan sekolah perempuan bernama Pamulang Bocah Wadon Ing Mangkunegaran bagi anak-anak priyayi dan abdi dalem Mangkunegaran, jika ada kursi kosong maka rakyat biasa boleh masuk juga.
Modernisasi pendidikan sangat terasa di pemerintahan Mangkunegaran VII, Pangeran Adipati Arya yang aktif di Organisasi Budi Utomo ingin menghapus kebodohan dan keterbelakangan rakyat jawa terutama masyarakat yang hidup dibawah Praja Mangkunegaran.
Mengembangkan pengajaran di Huishoud School yaitu pendidikan rumah tangga umumnya bahkan pengetahuan umum, membaca dan membuat surat-surat (bahasa Belanda dan Jawa), berhitung, ilmu kesehatan, memberi pertolongan kepada korban kecelakaan, perawatan bayi, ilmu pendidikan, bahasa Inggris, pengetahuan “kasboek” (buku kas), bercocok tanam, kasusilaan, unggah-ungguh, kesopanan, dan sebagainya, dibahas dalam arsip dengan kode A 876 “Huishoudschool-Sisworini Makloemat 1 Augustus 1938”.
Kenapa penulis kategorikan bahwa ini menjadi jejak Advokasi keperempuanan awal? Sebab hal ini tercantum dalam Pranatan Pustaka Praja (Rijksblad) Tahun 1917, legal dan formiil.
Soal ini, rasanya saya harus belajar dan menggali lebih dalam lagi kepada Ketua Presidium Adv. Dr. KP. H. Heru S. Notonegoro, SH., MH., CIL., CRA.
Beralih pada 14 Juli 1945, Maria Ulfah dan Siti Sukaptinah (ketua Fujinkai) menjadi tonggak pergerakan perempuan yang membahas upaya secara legal menyetarakan hak dasar perempuan dan lelaki pembinaan tanah air, sebelumnya, ada juga Siti Soendari, seorang Meester in de Rechten lulusan Leiden Belanda yang menggagas Sumpah Pemuda pada 1928.
Bahkan, sebetulnya Indonesia sudah mempunyai Hakim Agung dari kaum perempuan, Sri Widoyati tahun 1968, sementara Amerika baru di tahun 1981.
Mengintip dan Mengutip Obrolan
AdvoKAI Perempuan yang menjadi sayap Kongres Advokat Indonesia merayakan event SHElebrate x KataHukum.id dengan tema “Bersama Melawan Kekerasan”, IJRS (Indonesia Judicial Research Society) sebagai penyelenggara pada 22-23 November 2024 di HeArt Space 2.0, Graha APiC Jakarta, para perempuan AdvoKAI, berbicara tentang “Perempuan dan Keadilan dalam Hukum”.
Pembicaranya ialah bu Diyah Sasanti dan kak Jurung Radjagukguk dengan host kak Ira Menichini, topiknya adalah kekerasan seksual yang dialami perempuan beserta dampak negatif secara sosio-psikologis namun seringkali para korban tidak mau speak up, tanpa daya dan trauma hingga kesulitan menaruh kepercayaan pada orang lain.
Memang, sangat dibutuhkan peran negara guna mempersiapkan shelter, biaya sesuai kebutuhan, konsultasi, biaya hidup sementara, medis dan rehabilitasi psikososial juga psikologis, kompensasi, restitusi, penanganan khusus dan seterusnya.
Namun, sebelum beranjak pada itu semua tentunya harus mapan pendekatannya agar korban percaya bahwa masih ada tempat bersandar untuk dipercaya bersama melewati kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.
Jujur saja, penulis terhasud, saluut dan terkejut dengan kenyataan bahwa ternyata animo pemerhati saat itu sangat tinggi, dari beragam kalangan di rentang usia yang berbeda.
Dimulai dari perempuan muda bernama Matahari, perempuan muda dari panitia yang bertanya apa yang mesti dilakukan ketika menemukan perempuan yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual, bahwa penanganan haruslah harus sejak awal apalagi yang paling penting adalah penguatan mentalnya sebelum masuk pada pokok masalahnya, demikian kak Jurung menanggapi.
Ada juga kak Nurul yang menyampaikan fakta bahwa prosentase penyelesaian masalah PPA dalam penegakan hukumnya masih sangat rendah di institusi penegak hukum, bukan hanya masalah speak-up tapi memang seringkali berhenti di penegak hukum, bagaimana mensikapi hal tersebut?
Bu Diyah menyampaikan bahwa negara memang harus hadir dalam pembelaan terhadap perempuan, kita harus ngakui kadang kita bucin, rasio tidak digunakan, mengedepankan perasaan terus, “no baper, no bucin”, lanjutnya memberikan stimulan untuk anak-anak muda yang hadir mayoritas di acara itu.
Dalam UU TPKS tidak ada perdamaian untuk kekerasan seksual, lanjut para pembicara yang disimpulkan host, kak Ira.
Akses terhadap keadilan merupakan hak mendasar yang harus dipenuhi negara, tercantum dalam konstitusi pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum”.
Jejak hukum keberdayaan perempuan secara implementatif termaktub dalam SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, terutama mengenai Pasal-pasal 108 dan 110 B.W. tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami.
Juga, dalam PERMA No. 3 Tahun 2017 mengatur bagaimana hakim mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku, korban, saksi maupun para pihak, agar hakim dapat menjamin hak perempuan untuk mendapatkan akses yang setara.
Saya tidak keliru, Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia, bang Adv. Dr. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, SH., MH., CLA., CIL., CLI., CRA. pasti tidak mau melewatkan perayaan sisi lain dari keberdayaan para perempuan AdvoKAI, dan beliau pun hadir.
Tentang Feminisme
Teknologi dan media sosial memungkinkan pelaku untuk melakukan “crowd-source” pelecehan mereka serta memungkinkan individu yang tidak bermoral untuk mendapatkan keuntungan darinya.
Kekerasan berbasis gender mengakar sebagai nilai-nilai patriarki yang memandang perempuan sebagai subordinat laki-laki yang seolah mempunyai hak untuk mengendalikan dan memanfaatkan perempuan baik secara seksualitas dan sosial.
Padahal, perempuan juga merupakan subjek dalam segala bidang dengan menggunakan pengalamannya sebagai perempuan dan menggunakan perspektif perempuan yang lepas dari mainstream kultur patriarki yang selalu beranjak dari sudut pandang laki-laki.
Feminisme berarti memiliki sifat keperempuan, feminisme diwakili oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki yang terjadi di masyarakat. Akibat dari persepsi itu, timbul berbagai upaya untuk mengkaji ketimpangan tersebut serta menemukan cara untuk menyejajarkan kaum perempuan dan laki-laki sesuai dengan potensi yang dimiliki mereka sebagai manusia.
Perbedaan yang mendasar antara jenis kelamin dan gender adalah pada statusnya. Menurut Nina Rosenstand (2002) jenis kelamin adalah bentukan biologis, dan menurut Beauvoir, Zimmerman dan Butler gender bersifat konstruksi sosial atau kultur.
Perempuan dan laki-laki pada dasarnya memiliki persamaan status dalam lingkungan masyrakat, West dan Zimmerman (1989) berargumen awal dari ketimpangan gender ialah fungsi biologis yang secara spesifik membentuk perempuan dan laki-laki sebagai dua entitas yang secara taken for granted terpisah yang oleh karenanya secara sosial, kultural, dan bahkan politik perempuan ditempatkan sebagai penjaga ranah domestik yang beroperasi sesuai dengan fungsi reproduksinya. (Wening Udasmoro, 2018: 3)
Hmm..mm..m sepertinya, Simone de Beauvoir benar-benar mempengaruhi Jean Paul Sartre yang eksistensialis tapi tidak mau bebas, manusia dikutuk bebas, katanya, tapi harus bertanggungjawab. Mungkin mereka pacaran aha..aa..ay
Tapi, menurut penulis masih ada konstruksi lagi yaitu kodrati, yang mana terbentuk dan tidak bisa melawan metabolisme alamiah, dan disinilah diantara keduanya tidak dapat dipertukarkan sama sekali, kecuali melalui upaya rekonstruksi atau rekayasa fisik.
Sekarang, sudah bukan waktunya lagi bicara soal pergerakan perempuan dengan gap menganga, bukan juga pemberdayaan yang eksploitatif, bukan juga soal independensi yang justeru kedepan malah menjerumuskan ke ruang disparitas, tapi tentang keberdayaan yang meluruskan makna kesetaraan yang mendekonstruksi akses keadilan.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL