Hukumonline.com – Putusan Mahkamah Agung No. 2638 K/Pdt/2014 ini seharusnya bisa menjadi bahan peringatan bagi oknum anggota polisi yang melakukan penganiayaan. Pimpinan satuan di lingkungan Polri pun seharusnya menjalankan tugas, mengawasi anak buah agar tidak melakukan penganiayaan atau kekerasan terhadap orang yang ditahan, misalnya.
Mahkamah Agung telah menolak permohonan kasasi yang diajukan Polri dalam hal ini Polsekta Bukittinggi Polda Sumatera Barat terhadap gugatan Alamsyahfudin. Menurut majelis hakim dipimpin Abdul Gani Abdullah, alasan-alasan kasasi yang diajukan Polri tidak dapat dibenarkan karena judex facti sudah tepat dan benar menerapkan hukum.
“Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Pemerintah Republik Indonesia c/q Presiden RI, c/q Kepala Kepolisian RI, c/q Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, c/q Kepala Kepolisian Resor Bukittinggi, c/q Kepala Kepolisian Sektor Kota Bukittinggi tersebut,” demikian amar putusan majelis yang dipublikasikan lewat laman resmiMahkamah Agung 10 Maret lalu.
Dengan penolakan ini berarti putusan terdahulu berlaku. Pada 7 November 2013 lalu, PN Bukittinggi telah menghukum para Tergugat (Tergugat I sampai Tergugat VII) untuk membayar ganti rugi kepada penggugat senilai Rp700 ribu kerugian materiil, dan Rp100 juta kerugian immaterial. Ganti rugi itu dibebankan karena menurut majelis para Tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu melakukan penganiayaan terhadap korban Erik Alamsyah.
Erik Alamsyah adalah putra Alamsyahfudin. Erik menjadi korban penganiayaan oknum Polsekta Bukittinggi setelah korban dituduh melakukan pencurian sepeda motor. Penganiayaan atau penyiksaan berlangsung di ruang operasional Polsekta Bukittinggi tak lama setelah Erik ditangkap. Tak terima anaknya menjadi korban penganiayaan oknum polisi, Alamsyahfudin menempuh upaya hukum. Kasus ini juga mencuat ke permukaan hingga para pelaku diperiksa Propam dan diproses secara pidana. Untuk menempuh upaya hukum itu, Alamsyahfudin memberi kuasa kepada pengacara LBH Padang.
Direktur LBH Padang, Era Purnama Sari, membenarkan adanya gugatan tersebut. Tetapi ia mengaku belum menerima baik pemberitahuan maupun salinan resmi putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Polri tersebut. “Putusan ini bisa menjadi preseden ke depan,” kata Era saat dihubungi hukumonline lewat telepon dari Jakarta.
LBH Padang mengapresiasi putusan itu jika benar karena ini menjadi success storymenggugat secara perdata institusi Polri dan oknum-oknum yang melakukan penganiayaan. Dalam gugatan itu, Polri selaku institusi menjadi Tergugat I. Tergugat II sampai Tergugat VII adalah anggota kepolisian yang melakukan penganiayaan terhadap korban. Belum ada konfirmasi dari kuasa hukum Polri apakah sudah menerima putusan atau belum.
Tanggung renteng
Dalam putusan pengadilan disebutkan para Tergugat harus membayar ganti rugi Rp100.700.000 tersebut secara tanggung renteng karena perbuatan melawan hukum itu dilakukan bersama-sama.
Dalam pertimbangannya, majelis kasasi berpendapat perkara ini adalah gugatan perdata akibat adanya kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana. Penggugat, kata majelis hakim agung, dapat membuktikan dalil gugatannya dan tidak dapat dibantah para Tergugat. Karena itu pula, Pengadilan Negeri Bukittinggi mengabulkan sebagian gugatan, dan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat menguatkan putusan hakim tingkat pertama. Alasan lain adalah penilaian hasil pembuktian.
Dalam permohonan kasasinya, Tergugat I (Pemerintah/Polri) memang menilai pertimbangan putusan judex facti keliru dan menyesatkan. Menurut Tergugat I yang harus membayar ganti rugi itu adalah Tergugat II-VII karena merekalah yang dinyatakan PN Bukittinggi melakukan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan ‘penganiayaan’ yang menyebabkan kerugian perdata itu, menurut Tergugat I, adalah tindakan pribadi para tergugat II-VII.
Tergugat I juga menuding majelis hakim PN Bukittinggi tidak jujur dan adil karena setiap kali Pemohon Kasasi mengajukan saksi yang akan menerangkan Tergugat I sudah memberi arahan selalu ditolak majelis. Alasan hakim bahwa saksi adalah bawahan Tergugat I tidak sejalan dengan KUHAP. Namun, alasana-alasan dalam memori kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan majelis hakim agung.
Putusan pidana
Gugatan ini tak lepas dari putusan pidana yang telah menghukum para Tergugat II-VII. Putusan PN Bukittinggi No. 75/Pid. B/2012/PN.BT yang menghukum para tergugat tersebut telah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan dalil putusan pidana itu pula, Alamsyahfudin melalui kuasa hukumnya di LBH Padang mengajukan gugatan perdata ganti kerugian. Penggugat menggunakan dalil Pasal 1365 juncto Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata.
Era mengapresiasi putusan Mahkamah Agung karena selama ini masih sulit membawa oknum polisi pelaku penganiayaan ke pengadilan. Apalagi kalau sampai mengabulkan gugatan ganti rugi kepada pelaku dan institusi tempat bertugas oknum pelaku penganiayaan.
(Kongres Advokat Indonesia)