MA Tegaskan Kuasa Hukum Tak Bisa Ajukan PK Kasus Pidana
MA Tegaskan Kuasa Hukum Tak Bisa Ajukan PK Kasus Pidana

MA Tegaskan Kuasa Hukum Tak Bisa Ajukan PK Kasus Pidana

MA Tegaskan Kuasa Hukum Tak Bisa Ajukan PK Kasus Pidana

Hukumonline.com – Sebuah gebrakan hukum dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan kembali yang diajukan oleh Taswin Zein. Permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana kasus korupsi proyek peningkatan Pelatihan Pemagangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI itu, dinyatakan tak dapat diterima.

Alasannya, menurut majelis, karena permohonan PK itu diajukan oleh kuasa hukum terpidana. Bukan oleh terpidana atau ahli warisnya seperti yang ditentukan oleh Pasal 263 dan Pasal 265 KUHAP. “Majelis tidak dapat menerima permohonan PK dari kuasa hukum terpidana, ” ujar salah seorang anggota majelis, Krisna Harahap, ketika dikonfirmasi, Rabu (3/3).

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan, ‘Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung‘.

Majelis hakim agung yang mengadili perkara ini diketuai Artidjo Alkostar serta Krisna Harahap, MS Lumme, Leo Hutagalung dan Abbas Said masing-masing sebagai anggota. Krisna menyatakan putusan ini sekaligus menerobos kebiasaan yang selama ini yang tetap memeriksa permohonan PK yang diajukan kuasa hukum terpidana.

Padahal, lanjut Krisna, praktek ini jelas-jelas tak hanya melanggar KUHAP tetapi juga Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang pernah dikeluarkan pada 1984 dan 1988 ketika MA dipimpin oleh Adi Andojo dan Ali Said. Meski begitu, putusan ini tidak diambil secara bulat. Dua anggota majelis dalam perkara ini mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda 

Kedua hakim itu adalah Leo Hutagalung dan Abbas Said. Mereka beranggapan permohonan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana walau melanggar ketentuan KUHAP seharusnya boleh dilaksanakan. Praktek ini untuk memberi kesempatan kepada para pelaku tindak pidana korupsi mengajukan PK dari luar negeri yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan RI, seperti Singapura.

Dengan ditolaknya permohonan PK yang diajukan oleh pengacaranya ini, Taswin tetap menjalani pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia kiha diharuskan membayar uang pengganti Rp100 juta. Hukuman ini diberikan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Jakarta Pusat. Taswin tidak mengajukan banding dan kasasi.

Lazim Dikuasakan

Don Ritto, Penasehat Hukum Taswin, mengaku kaget dengan putusan ini. “Loh, sudah putus toh?” ujarnya ketika dihubungi hukumonline. Lebih terkejut lagi, begitu Don mendengar alasan tidak diterimanya permohonan PK tersebut. Menurutnya, sepanjang pengalamannya sebagai pengacara, sudah menjadi hal yang lumrah bila permohonan PK itu diajukan oleh pengacara terpidana. Toh, si pengacara telah mengantongi surat kuasa dari terpidana.

Ia mengaku memiliki dasar mengajukan PK sebagai kuasa hukum Taswin. Ia menunjuk Lampiran Keputusan Menkumkham M.14-PW.07.03 Tahun 1983. Surat tertanggal 10 Desember 1983 menyatakan permohonan kasasi dapat diajukan oleh kuasa hukum terpidana. 

M Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul ‘Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP’, lanjut Don, menyatakan surat Menkumham itu juga dapat diberlakukan untuk permohonan PK. “Ini yang menjadi dasar kami mengajukan PK,” jelasnya.

Menurut Don, alasan majelis hakim sangat naif. Ia mempertanyakan mengapa Ketua Pengadilan Negeri meneruskan permohonan PK yang diajukan ke MA. “Kami sempat sidang PK di PN Jakarta Pusat sebanyak tiga kali. Kalau dianggap bermasalah secara formal, seharusnya permohonan PK itu tidak bisa diteruskan ke MA,” tegasnya.

Majelis hakim sepertinya sudah dapat memprediksi sikap pihak terpidana dan kuasanya ini. Krisna mengatakan majelis hakim justru ingin meluruskan praktek di MA yang tidak sesuai dengan KUHAP. “Tujuan kami adalah supaya MA tetap berpegang teguh kepada KUHAP,” tegasnya.

Krisna juga berharap, ke depannya, pihak terpidana atau ahli warisnya yang mengajukan PK. Ia mengatakan bila terpidana berada di penjara, Ketua Pengadilan bisa mengeluarkan surat penetapan untuk menghadirkan terpidana di gedung pengadilan. “Biar terpidana sendiri yang tandatangan,” ujarnya.

Sekedar mengingatkan, Taswin didakwa melakukan korupsi ketika sebagai pimpinan proyek pengembangan sistem pelatihan dan pemagangan senilai Rp15 miliar dan proyek peningkatan fasilitas mesin dan peralatan pelatihan sebagai tempat uji kompetensi senilai Rp35 miliar yang diadakan di Balai Latihan Kerja di seluruh Indonesia.

Dalam kedua proyek itu, Taswin dinilai melanggar Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah karena melakukan penunjukan langsung. Seharusnya Taswin melalui mekanisme tender.

(Kongres Advokat Indonesia)

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024
Presidium DPP KAI Kukuhkan 15 AdvoKAI & Resmikan LBH Advokai Lampung
July 20, 2024
Rapat Perdana Presidium DPP KAI, Kepemimpinan Bersama Itu pun Dimulai
July 3, 2024
Tingkatkan Kapasitas Anggota tentang UU TPKS, KAI Utus 20 AdvoKAI untuk Ikut Pelatihan IJRS
June 26, 2024