Tempo.co – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai dokumen intelijen yang dimiliki Amerika Serikat bisa membuka kebenaran sejarah dalam kasus pelanggaran HAM berat 1965. Alasannya, Menurut Anggota Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron, catatan sejarah yang ada saat ini berbeda-beda dan kontroversial.
Nurkhoiron berharap dokumen yang dimiliki bisa memperkuat pembuktian dan memperkokoh hasil pengusutan kasus 1965 oleh Komnas HAM. Komisi menyelidiki kasus tersebut sejak 2008 dan selesai pada 2012 dengan kesimpulan ada pelanggaran HAM berat. “kami tidak tahu, apa data dari CIA itu memperlemah atau tidak. Tapi korban harus mendapatkan haknya, ” kata dia ketika dihubungi, Selasa, 15 Maret 2016.
Salah satu hak korban, kata dia, adalah mengetahui segala kebenaran dalam suatu kasus. Menurut dia, hak itu diperlukan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang ada.
Untuk itu, ucap Nurkhoiron, Komnas meminta pemerintah Amerika Serikat untuk membuka dokumen intelijen terkait peristiwa 1965. Permintaan itu disampaikan Nurkhoiron bersama staf Komnas HAM lainnya pada Selasa dan Rabu pekan lalu. Mereka diterima, antara lain, oleh pejabat Kementerian Luar Negeri dan Dewan Keamanan Nasional, di gedung Harrys S. Truman di Washington. Saat itu Nurkhoiron menyerahkan surat permohonan dari Ketua Komnas HAM yang ditujukan kepada Obama agar segera membuka dokumen rahasia terkait peristiwa 1965 itu.
Dasar permintaan itu, kata Nurkhoiron, adalah Undang-Undang keterbukaan informasi Amerika Serikat terkait sebuah dokumen yang bisa diakses oleh umum jika peristiwanya terjadi lebih dari 25 tahun. Seharusnya, menurut Nurkhoiron, permintaan itu bisa dilakukan pada 1995, namun urung dilaksanakan karena khawatir menganggu hubungan Amerika dengan Indonesia.
Nurkhoiron mengatakan, saat ini merupakan momen yang paling tepat karena ada komitmen Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan masalah HAM dan Presiden Barrack Obama pernah tinggal di Indonesia pada 1965. “Ada kedekatan emosional,” ujarnya. “Komnas juga bisa meminta ke Jepang, Inggris dan Australia yang anti komunisme.”
Penyelesaian masalah ini, kata Nurkhoiron, sepenuhnya berada di tangan Presiden Jokowi. Karena Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah dibekukan pasca keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2005 lalu. “Semua tergantung pemerintah, bisa melalui Kejaksaan Agung dengan meneruskan bukti kami dan dibawa ke pengadilan maupun penyelesaian di luar pengadilan,” katanya.
(Kongres Advokat Indonesia)