Hukumonline.com – Pemerintah menganggap adanya syarat jaminan pembayaran pajak terutang sebesar 50 persen saat pengajuan banding dalam Pasal 36 ayat (4)UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Akan tetapi, aturan ini merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk Undang-Undang yang tidak tidak bisa dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sama halnya dengan keberlakuan Pasal 89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak, Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA, dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait permohonan peninjauan kembali (PK) hanya dapat dilakukan satu kali, khususnya dalam perkara sengketa atau keberatan pajak. Sebab, putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang mengabulkan uji materi Pasal 268 ayat (3) KUHAPhanya berlaku dalam perkara pidana.
“Permohonan ini tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal itu,” kata Direktur Litigasi dan Perundang-Undangan Kemenkumham Yunan Hilmy saat menyampaikan pandangan pemerintah di ruang sidang MK, Selasa (15/3).
Sebelumnya, likuidator PT Textra Amspin, Nizarman Aminuddin mempersoalkan syarat pengajuan banding pajak dalam Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak dan Pasal II angka 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengenai penangguhan pembayaran pajak. Pemohon juga mempersoalkan aturan PK hanya sekali dalam Pasal 89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak, Pasal 66 ayat (1) UU MA, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pemohon keberatan atas pengenaan pajak terutang PT Textra Amspin yang turut memperhitungkan aset pribadi ke dalam aset perusahaan. Setelah keberatan ditolak Ditjen Pajak, Pemohon mengajukan banding yang kemudian Pengadilan Pajak menyatakan tidak dapat menerima karena Pemohon belum menyampaikan bukti pembayaran 50 persen pajak terutang sebagai syarat banding.
Demikian pula, saat diajukan PK yang juga dinyatakan tidak diterima. Pemohon hendak mengajukan PK kedua karena selama proses hukum ini tidak ada penundaan kewajiban pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak terutang. Namun, terhalang aturan PK hanya bisa dilakukan sekali yang sebenarnya sudah dibatalkan melalui putusan MK No. 34/PUU-XI/2013.
Yunan menjelaskan jiwa aturan perpajakan dalam UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP mengutamakan pemenuhan atas hak mendahului negara terutama ketika terjadi pengajuan keberatan atau banding oleh Wajib Pajak. Dengan begitu, tidak ada penundaan kewajiban pembayaran dan penagihan pajak terutang agar (target) penerimaan kas negara tidak terhambat.
“UU KUP Tahun 2007 dan UU KUP Tahun 2000 secara jelas dan tegas, permohonan upaya hukum banding Wajib Pajak tidak menunda kewajiban pembayaran dan penagihan pajak,” jelasnya. Jadi, aturan ini tidak diskriminatif yang menyebabkan ketidakadilan karena berlaku bagi seluruh Wajib Pajak baik pribadi ataupun badan sejak 2001 hingga 2007,” kata Yunan.
Karena itu, pemerintah berharap agar MK menolak permohonan ini karena pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan Penjelasan Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak, Pasal II angka 1 UU KUP Tahun 2007, Pasal 66 ayat (1) UU MA, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman tidak bertentangan dengan UUD 1945,” pintanya.
(Kongres Advokat Indonesia)