Seorang pria bernama E. Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua melayangkan uji materi (judicial review) Undang undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.
Ramos mengaku merasa dirugikan dengan UU tersebut usai gagal menikah dengan kekasihnya yang beragama Islam. Menurutnya, ada pasal dalam UU Perkawinan yang bertentangan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945
“Pemohon adalah Warga Negara Perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam,” bunyi permohonan Ramos dalam permohonan gugatannya dalam situs MK, Senin (7/2).
“Akan tetapi setelah menjalin hubungan selama 3 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda,” imbuhnya.
Ramos mempersoalkan pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 huruf f dalam UU Perkawinan. Menurut Ramos, makna dua ayat dalam pasal tersebut mengandung ketidakpastian hukum.
Dalam pasal 2 Ayat (1) disebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian Ayat (2) berbunyi Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
“Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon, sehingga ia tidak dapat melangsungkan perkawinannya karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara,” kata Ramos.
Pasal lain dalam UU Perkawinan yang dipersoalkan Ramos yakni Pasal 8, yang berbunyi perkawinan dilarang antara dua orang yang: f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Ramos menganggap menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya. Padahal, kata dia, perkawinan di Indonesia, melekat pada berbagai macam kultur, agama, budaya, suku, dan sebagainya dan hukum perkawinan yang berlaku juga bersifat pluralistis antara hukum adat, hukum negara,dan hukum agama.
“Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 8 huruf f menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan hukum dalam konteks perkawinan beda agama sebagai suatu peristiwa hukum yang diperbolehkan atau dilarang dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing,” ucapnya.
Ramos juga mempertanyakan tolok ukur pelarangan warga yang berbeda agama. Pasalnya, ia menilai larangan beda agama disebabkan oleh perbedaan tafsir ahli hukum.
“Dan tolok ukur apa yang digunakan untuk mengukur larangan atau kebolehan perkawinan beda agama mengingat tidak adanya kesamaan pendapat di antara para ahli hukum agama dan hukum negara,” ucap dia.
“Larangan perkawinan beda agama yang disebabkan karena perbedaan tafsir diantara ahli hukum pada hakikatnya telah mengurangi kebebasan dan kemerdekaan untuk menganut agama dan kepercayaan tentu dalam melangsungkan perkawinan beda agama yang dijamin berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” imbuhnya.
Ramos sebelumnya juga pernah mengajukan gugatan UU Perkawinan pada 2014. Namun, gugatan itu ditolak dengan putusan Nomor 68/PUU-XII/2014.
Pemohon merasa gugatan yang baru diajukan ini tidak dapat diklasifikasikan ne bis in idem (dilarang digugat kembali).
“Karena tentunya terdapat perbedaan dalam hal konstitusionalitas yang menjadi alasan diajukannya permohonan,” ucapnya. CNNINDONESIA