Dalam sebuah kesempatan Webinar dengan tema Implementasi Restorative Justice di Indonesia: Kendala dan Solusi, hari Jum’at tanggal 04 Februari 2022 yang diikuti oleh Kongres Advokat Indonesia, beberapa narasumber lebih terbuka tidak hanya menyampaikan mengenai kendala akan tetapi juga permasalahan dalam institusinya masing-masing.
Penerapan RJ di lingkungan peradilan umum khususnya persidangan berpedoman pada ketentuan pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Selain itu juga telah diterbitkan Surat Keputusan Dirjen Badilum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang pedoman penerapan restorative justice di lingkungan peradilan umum. Hal tersebut merujuk pada Term of References yang disampaikan oleh Bappenas yang diadopsi dalam RPJMN 2020 – 2024.
Saat ini, beberapa institusi penegak hukum Indonesia menerbitkan peraturan sebagai acuan RJ, antara lain Kejaksaan RI dengan peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 tentang penghenatian penuntutan berdasarkan keadilan restorative, dan Kepolisian RI menerbitkann peraturan Polri No. 8 Tahun 2021 tetang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restorative.
Namun dalam implementasinya RJ ini masih memiliki kendala secara umum yang berpotensi menimbulkan friksi kewenangan antar institusi, sebagaimana dengan objektif disampaikan DR. Prim Hariyadi, SH., MH. (Hakim Agung) yaitu ketiadaan dasar hukum baik formil maupun materiil sebagai pijakan APH, perbedaan persepsi, regulasi dan teknis implementasi RJ, perbedaan makna keadilan di masyarakat, perbedaan pemahaman mengenai RJ dari para penegak hukum, dan masyarakat yang kurang memahami arti pentingnya pemulihan keadaan dan hubugan kemasyarakatan yang baik.
Menarik disimak yang mana MA menyampaikan bahwa salah satu solusi terhadap penerapan dari RJ ini adalah dengan menerbitkan peraturan bersama yang mengatur hukum formil dan materiil tentang penerapan RJ, meningkatkan peran perangkat desa, pejabat setempat dan tokoh masyarakat dan memperluas ruang lingkup mediasi dalam perkara pidana.
Bahkan ditambahkannya bahwa MA memberikan kepercayaan bagi masyarakat adat yang masih ada untuk juga menerapkan prinsip RJ dalam penyelesaian perkara secara adat, meskipun hal ini masih berupa wacana namun sangat patut dicatat sebagai pernyataan dalam lingkup akademis yang penting.
Pihak Kejaksaan RI dalam kesempatan ini juga mengakui bahwa dilingkungan kejaksaan masih banyak yang bekerja secara apa adanya sekedar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menekankan pada kesalahan sehingga keadilan dimaknai sebagai pembalasan saja sehingga mindet yang ada di masyarakat adalah pelaku harus dihukum dengan seberat-beratnya, demikian inti materi yang disampaikan oleh Zet Tading Allo, SH, MH. (Koordinator Pidana Umum Kejaksaan Agung RI), bahwa pradigma kejaksaan sudah harus berevolusi dari retributive kepada restitutive dan akhirnya saat ni kepada restorative.
Dari sudut pandang kepolisian disampaikan oleh BrigJen.Pol. Heru Dwi Pratondo, SH. (Kapusiknas Bareskrim Polri) bahwa dalam domain penyidikan di kepolisian saat ini terjadi perbaikan dalam kewenangannya, mengadakan penghentian penyidikan dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab, sebagai implementasi dari pasal 6 dan 7 KUH Acara Pidana dalam konteks RJ.
Secara faktual, konsepsi RJ sebetulnya sudah sejak lama digagas oleh para Advokat melalui pledooi atau klemensinya, bukan paradigma baru.
Hampir di tiap argumentasinya para Advokat yang baik akan memberikan gambaran mengenai ante-factum, factum dan post-factum, dan mohon agar penuntut terutama Hakim untuk melihat pada perbedan antara causa prima dan causa proxima sehingga dalam menuntut seseorang dan/atau memberikan vonis dapat memenuhi unsur keadilan yang baik dan proper (layak).
Sependapat dengan Prof Agus UI yang mengatakan bahwa dasar pemidanaan bukanlah UU tapi keadilan, oleh karena itulah irah-irah putusan pengadilan berbunyi Demi Keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam sejarah peradilan di Indonesia, kalimat irah-irah itu mengalami berkembang. Buku Hukum Acara Pidana, karya Bismar yang diterbitkan Binacipta Bandung (1983), mencatat pengadilan pernah menggunakan kepala putusan ‘Atas Nama Ratu/Raja’, ‘Atas Nama Negara’, ‘Atas Nama Keadilan’, dan terakhir ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Secara ideal dan objektif seringkali Advokat memberikan input dalam paradigma antinomi maupun diametral terhadap suatu peristiwa hukum, dan memohon tinjauan sidang atas kelengkapan rangkaian ante-factum factum, factum dan post-factum juga mengenai causa baik prima (utama) maupun proxima (terdekat).
Masih saja ada budaya pokrol (zaakwaarnemers) yang merupakan agen penguasa lokal yang bertindak selaku pengacara – sekedar mengisi kekosongan peran dalam formalitas beracara hukum – yang menjamur di setiap daerah hingga pengacara jauh lebih dikenali oleh masyarakat awam sebagai pesilat lidah ketimbang Advokat yang pada khittahnya adalah negarawan yang ahli dan pembaharu hukum.
Advokat harus mampu menselaraskan antara keharusan memihak dengan keharusan mengemukakan penilaian yang obyektif dalam identifikasi etis.
Dalam konteks RJ yang erat dengan sistem peradilan pidana “adversary” di Indonesia tidak semata-mata berlaku “accusatorial” (berpihak kepada klien), tetapi juga berlaku sistem “inquisitorial” (berpihak pada keadilan).
Sebetulnya profesi yang lebih dekat dalam membantu Hakim justeru adalah Advokat karena harus menempatkan keadilan dalam argumentasi hukumnya dan mendampingi masyarakat pencari keadilan, sehingga tercermin dalam irah-irah putusan pengadilan tersebut.
Hadir secara langsung keynote speaker yaitu Rektor Universitas Mataram Prof. DR. Lalu Husni, SH., M.Hum. dan DR. Andi Samsan Nganro, SH., MH. (Wakil Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial) dengan moderator Dr. Djamal, S.H., M.Hum, dan para narasumber yaitu DR. Prim Hariyadi, SH., MH. (Hakim Agung), Zet Tading Allo, SH, MH. (Koordinator Pidana Umum Kejaksaan Agung RI), BrigJen.Pol. Heru Dwi Pratondo, SH. (Kapusiknas Bareskrim Polri), Prof. DR. Agus Sardjono, SH., MH. (Guru Besar FH-UI) dan Prof. Lalu Muhammad Hayyan Ul Haq, S.H., LL.M., Ph.D (Akademisi FH-Unram).
Disampaikan oleh Prof. Agus tentang makna filosofis dari terminologi keadilan sebagai acuan bagi para penegak hukum bahkan pembuat UU dalam memahami konsep hukum dan keadilan yang sesuai dengan jiwa bangsa.
Dalam konteks yang relevan dimana selaku penyelenggaran adalah APHKI (asosiasi pengajar hak kekayaan intelektual) hanya tampak dari pendapat dan materi yang disampaikan oleh Prof. Haq, bagaimana beliau mempertanyakan kesiapan APH untuk menerapkan RJ dalam bidang kekayaan intelektual yang tidak membicarakan masalah uang 50 juta atau pencurian buah coklat, tapi tentang nilai yang berkisar milyaran rupiah terkait paten maupun masalah lingkungan dan dimensi indikasi geografis.
Mengacu pada pendapat tersebut sangat logis dan relevan bahwa konsepsi RJ menuntut kebijaksanaan yang tinggi atau lebih baik menerapkan konsepsi lain dalam bidang kekayaan intelektual yang lebih dapat diterima karena RJ berimplikasi luas sehingga dimungkinkan dapat melahirkan kontroversi-kontroversi baru, kecuali dalam hal sengketa kekayaan intelektual sederhana yang masih dapat dilakukan RJ berdasarkan tafsir ekstensif atas norma yang ada.
Di penghujung acara sebagai tanggapan dari beberapa pertanyaan dan sebagai masukan kepada para narasumber Prof. Haq menyampaikan bahwa Advokat juga sebaiknya ikut dilibatkan dalam pembentuka peraturan perundang-undangan mengenai RJ sebagaimana pendapat MA untukmenerbitkan peraturan bersama yang mengatur hukum formil dan materiil tentang penerapan RJ.
(ctt/Initial AP/KAI)