Singkatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara menjadi sorotan sejumlah kalangan. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menuturkan pembentukan undang-undang yang tidak melibatkan partisipasi publik dan tidak menggunakan asas keterbukaan sangat rentan untuk digugat.
“Di titik tertentu, lumrah jika warga negara merasa kehadiran Undang-undang IKN tidak melindungi hak-hak konstitusional mereka,” kata Feri saat dihubungi, Ahad, 23 Januari 2022.
Menurut Feri, peluang untuk mengajukan gugatan UU IKN ke Mahkamah Konstitusi sangat tinggi. Apalagi, jika bercermin pada putusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja. Di putusan itu, MK mencatat ada lima tahap pembentukan undang-undang, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, persetujuan, dan pengundangan.
Dalam pembentukan UU Cipta Kerja, empat tahap pertama tidak melibatkan partisipasi publik sehingga majelis hakim Konstitusi memerintahkan untuk melakukan perbaikan. “Undang-Undang IKN juga miskin partisipasi publik. Kalau MK konsisten dengan putusan itu, pembentukan UU IKN yang terburu-buru akan mudah digugat,” ujar Feri.
Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan UU IKN pada rapat paripurna ke-13, Selasa, 18 Januari 2022. Pembentukan undang-undang itu tergolong kilat mengingat anggota parlemen baru mulai menetapkan pimpinan dan keanggotaan pansus untuk membahas RUU IKN pada 7 Desember 2021. Di hari yang sama, pansus gerak cepat melakukan rapat kerja bersama pemerintah untuk membahas RUU IKN.
Feri menilai DPR tidak pernah terbuka dan meminta masukan kepada publik mengenai pembentukan UU ibu kota baru. Isi undang-undang itu pun, kata dia, terkesan tidak melalui kajian yang dalam.
Ia mencontohkan soal pendelegasian kewenangan badan otorita yang akan diatur dalam peraturan pemerintah. Menurut Feri, mestinya DPR memasukkan aturan yang detil dalam undang-undang, bukan malah memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah seolah pemerintah yang memiliki kewenangan membentuk undang-undang. “Jadi seolah ada peraturan yang diberikan ke badan otorita tapi tidak dalam bentuk undang-undang tapi dikontrol pemerintah,” ucap dia.
Konsep badan otorita, kata Feri, juga masih tidak jelas. Undang-undang mengatur ada pemilihan DPR dan Presiden namun tidak ada pemilihan daerah. Dengan tidak adanya konsep pemilihan umum daerah, menurut Feri, artinya dianggap tidak ada penduduk yang tinggal di ibu kota.
“Tapi kenapa ada pemilu nasional di ibu kota kalau tidak ada penduduknya? Jadi sepertinya tidak ada kajian kenapa pilihannya badan otorita, kenapa tidak pemda yang sifatnya khusus dengan konsekuensi yang berkaitan dengan kepemiluan,” katanya.
Feri menuturkan ia dan sejumlah pakar hukum tata negara mendukung jika ada yang menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi. Feri menyatakan siap menjadi kuasa hukum penggugat ataupun ahli jika diperlukan. “Karena undang-undang ini bermasalah, kami yakin untuk menjadi bagian penggugat,” ujarnya.
Kejanggalan dalam isi UU ibu kota baru juga ditemukan oleh organisasi Auriga. Direktur Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra menuturkan pemerintah melanggar konsep pemerintahan daerah khusus sesuai dengan Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Pemerintah Daerah. Wujud pelanggaran itu adalah UU IKN Nusantara mengatur pemerintahan di ibu kota berbentuk otorita. Lalu ibu kota negara akan dipimpin oleh kepala otorita IKN sebagai jabatan setingkat menteri.
Menurut Roni, nomenklatur otorita sama sekali tak dikenal dalam aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. IKN Nusantara, menurut tim Auriga, adalah lembaga pemerintah daerah khusus dan menjadi provinsi ke-35 di Indonesia.
Kepala daerah khusus adalah gubernur yang dipilih melalui pemilihan umum. Kerja-kerja gubernur juga semestinya diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi. “Bentuk otorita ini adalah kecacatan yang bertentangan dengan UUD,” ujar dia.
Rencana untuk menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi dilontarkan pakar ekonomi senior Faisal Basri. Menurut dia, pengesahan Undang-undang IKN sangat tergesa-gesa. Ada masih banyak masalah yang lebih penting yang harus diselesaikan pemerintah saat ini ketimbang memindahkan Ibu Kota Negara. “Saya akan berusaha ini dibawa ke judicial review, tapi belum tahu waktunya kapan,” kata dia,
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, menampik pembahasan UU ibu kota baru dilakukan secara terburu-buru. Ia menyebut proses pembahasannya sudah berjalan cukup lama. “Pada waktu penyusunan partisipasi publik, proses pembentukan UU sudah 2 tahun,” kata Suharso.
Dari sisi kematangan naskah akademik, materi, hingga pemilihan nama Nusantara sebagai nama ibu kota baru nanti, menurut Suharso sudah dibahas sejak jauh-jauh hari. Hanya saja, belakangan memang pembahasannya sempat terputus karena adanya pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Ditahan oleh presiden karena pandemi. Jadi 2020 jangan dibahas dulu. 2021 pun dikasih September setelah (pandemi) melandai,” kata Suharso.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Irfan Pulungan, mempersilakan masyarakat jika ingin menggugat UU Ibu Kota Negara. Meski begitu, ia mengatakan pemindahan ibu kota baru akan tetap dilakukan. “Namanya hak konstitusi tidak bisa kami larang. Pada akhirnya nanti MK melaksanakan itu, ya harus dihadapi kan (gugatan itu),” kata Irfan saat dihubungi. TEMPO