Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Syarifuddin meminta penegak hukum untuk maksimal dalam memberantas korupsi. Salah satunya adalah menjerat para pelaku tidak hanya dengan UU Tipikor, tapi juga dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Pemberantasan korupsi harus dimulai dari tahap pencegahan, yaitu dengan memberikan pendidikan antikorupsi dari sejak dini melalui pendekatan spiritual keagamaan. Sedangkan pada tahap penegakan hukum, selain menggunakan pendekatan penal, juga harus menekankan pada upaya pemulihan kerugian negara,” kata Syarifuddin sebagaimana dilansir website MA, Minggu (5/12/2021).
“Sehingga para penegak hukum dapat lebih optimal dalam mengejar harta kekayaan si pelaku yang diperoleh dari tindak pidana korupsi untuk mengganti kerugian yang dialami negara, tidak hanya dengan menggunakan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tindak Pidana Korupsi namun juga dengan menggunakan UU Pencucian Uang,” sambung mantan Wakil Ketua MA bidang Yudisial itu.
Selain itu, kata Syarifuddin, MA telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain. Hal itu sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 67 UU Pencucian Uang.
“Perma tersebut menjadi solusi bagi penentuan status harta kekayaan yang telah disita oleh penyidik dalam tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lainnya, namun tersangkanya melarikan diri atau tidak ditemukan,” kata guru besar pidana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.
Syarifuddin juga mengatakan selengkap apapun dan sebagus apapun regulasi yang telah diterbitkan jika dijalankan oleh hakim yang tidak berintegritas, maka semuanya akan sia-sia. Sebab, semakin banyak regulasi dikeluarkan dan semakin tinggi ilmu yang dimiliki, justru akan semakin banyak celah untuk melakukan tindakan menguntungkan dan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum.
“Oleh karena itu, regulasi tetap diperlukan, kemampuan keilmuan dan kapabilitas juga dibutuhkan,” ujar Syarifuddin menegaskan.
Namun, kata Syarifuddin, integritas jauh lebih penting untuk dimiliki seorang hakim. Mengapa? karena hakim yang berintegritas tinggi dan dekat dengan Tuhannya melalui ibadah-ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya akan selalu dituntun oleh hati nuraninya dalam menjatuhkan setiap putusan.
“Insyaallah, putusan yang dijatuhkan atas hati nurani yang bersih akan senantiasa mengandung nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan,” ucap Syarifuddin. DETIK