Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020 terkait permohonan uji materil UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terhadap UU 1945. Agenda sidang yakni mendengar keterangan DPR dan Presiden.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Taufik Basari yang mewakili pihak pembuat undang – undang meminta Majelis Hakim Konstitusi untuk menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
“Menolak permohonan pengujian para pemohon untuk seluruhnya, atau apabila yang mulia majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil – adilnya,” kata Taufik dalam sidang yang disiarkan daring di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi, Selasa (10/8/2021).
Dalam uraiannya, DPR menilai bahwa tindak pidana narkotika telah berkembang menjadi transnasional, yakni dilakukan menggunakan modus operandi tinggi, teknologi canggih, hingga didukung organisasi luas.
Narkotika juga menimbulkan banyak keburukan dan korban, utamanya pada generasi muda. Narkotika dipandang sangat membahayakan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Selain itu, DPR juga menyebut bahwa pasal – pasal yang dimohonkan Pemohon, seperti Pasal 6 Ayat (1) huruf H, dan Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009, bukan persoalan terkait konstitusionalitas yang jadi ranah persidangan MK.
Melainkan ketentuan dalam pasal tersebut lebih kepada persoalan kemanusiaan yang perlu dicarikan jalan keluarnya.
“Ketentuan pasal a quo yang dipermasalahkan dengan peristiwa yang didalilkan pemohon, bukan persoalan konstitusionalitas yang menjadi ranah Mahkamah Konstitusi, namun persoalan tersebut merupakan persoalan kemanusiaan yang harus dicarikan jalan keluarnya bagi pembentukan hukum ke depan,” terang Taufik.
Oleh karena itu, DPR mengatakan data – data yang dipaparkan para Pemohon lebih bermanfaat untuk dijadikan bahan revisi UU Narkotika yang kini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2021.
“Data – data yang diajukan pemohon dapat dijadikan bahan yang bermanfaat untuk revisi UU Narkotika dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021,” terangnya.
Diberitakan sebelumnya, Pasal 6 ayat (1) huruf H dan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika digugat oleh tiga orang ibu – ibu yang anaknya tengah sakit, dan membutuhkan akses pengobatan narkotika golongan I.
Ketiga orang ibu yang menggugat aturan ini tidak bisa mendapatkan akses obat yang berasal dari ekstrak narkotika jenis ganja.
Salah satu pemohon bernama Dwi Pertiwi, memiliki anak yang mengidap penyakit Cerebral Palsy atau penyakit lumpuh otak dengan efek gangguan pada gerakan koordinasi tubuh.
Anak dari pemohon sempat membaik usai mendapat terapi lewat obat cannabis oil di Australia pada tahun 2016.
Namun saat pemohon dan anaknya kembali ke Indonesia, terapi tersebut tak bisa dilanjutkan lantaran regulasi Indonesia melarang penggunaan ganja yang masuk dalam kategori narkotika golongan I.
“Atas dasar itu, pertanyaan hukumnya. Apakah ibu Dwi yang anaknya bisa diobati menggunakan narkotika golongan I, tapi di Indonesia tidak bisa digunakan, itu konstitusional atau tidak? Menurut kami itu tidak konstitusional,” tutur Kuasa hukum pemohon Maruf Bajammal.
Sehingga lewat uji materil ini, diharapkan dapat membuka mata pemerintah soal regulasi khususnya penggunaan minyak cannabis (ganja) yang termasuk narkotika golongan I untuk pengobatan.
Upaya gugatan dari ketiga orang ibu ini diharapkan bisa membuat melek mata seluruh pihak bahwa ada narkotika yang dilarang dalam regulasi, tapi sesungguhnya bermanfaat untuk pengobatan. TRIBUNNEWS