Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) baru setahun disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan diundangkan, tepatnya pada 10 Juni 2020, namun ternyata sudah dikritik, bahkan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa kali, baik uji formil maupun uji materiil.
Ahmad Redi, salah satu tim pengacara penggugat UU Minerba kali pertama pada 10 Juli 2020 silam, mengatakan bahwa saat ini setidaknya ada tiga pihak yang menggugat UU Minerba ke MK, baik uji formil dan uji materiil. Dia mengatakan, awalnya ada lima pihak penggugat berbeda, namun dua gugur karena dianggap tidak memiliki basis legal (legal standing).
“Selain formil, di perkara yang lain juga ada uji materiil yang diajukan juga oleh berbagai pemohon. Bersamaan dengan kami, ada dua penggugat lain, yaitu nomor perkara 59, 60, dan 64,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (28/06/2021).
Sidang ketiga gugatan tersebut kini masih berlangsung. Saat tiga gugatan tersebut masih berlangsung, kini ada satu lagi gugatan baru dari koalisi masyarakat sipil yang baru diajukan pada Senin pekan lalu (21/06/2021) kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, saat ini ada empat pihak penggugat UU Minerba yang berbeda-beda.
Lantas, apa yang membuat sejumlah pihak kembali menggugat UU Minerba ini?
Kepada CNBC Indonesia, Lasma Natalia, Penasehat Hukum Penggugat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengatakan bahwa uji materiil UU Minerba ini diajukan untuk menguji substansi dari pasal-pasal UU Minerba.
“Permohonan ini kami lakukan berdasarkan mandat masyarakat terdampak tambang yang sudah mengalami banyak kerugian,” ucapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (28/06/2021).
Sementara itu, Pradarma Rupang Penggugat dari Jatam Kalimantan Timur mengatakan bahwa gugatan kali ini agak berbeda dari sebelumnya di mana pada gugatan sebelumnya lebih pada kewenangan daerah ditarik ke pusat.
“Hanya informasi yang Jatam Kaltim terima, standing dari gugatan sebelumnya lebih karena kewenangan daerah yang ditarik ke pusat,” ujarnya.
Sedangkan gugatan kali ini yang dilakukan oleh empat pihak, ada empat substansi yang diuji dan ada di sembilan pasal UU Minerba.
Dia merinci, substansi pasal-pasal yang dipersoalkan oleh Jatam Kaltim dan tiga pemohon lainnya di antaranya :
– Sentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan penguasaan minerba.
– Jaminan operasi industri pertambangan meski bertentangan dengan tata ruang.
– Perpanjangan izin otomatis atas Kontrak Karya dan PKP2B tanpa evaluasi dan lelang.
– Pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap keberadaan proyek pertambangan dari hulu hingga hilirnya.
Berikut sejumlah pasal yang akan diujikan di Mahkamah Konstitusi:
– Pasal 4 ayat (2): Penarikan kewenangan daerah ke pusat dalam penyelenggaraan penguasaan minerba;
– Pasal 17A ayat (2),
– Pasal 22A,
– Pasal 31A ayat (2),
– Pasal 172B: Jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP mineral logam dan WIUP batubara; WPR; serta WIUPK yang telah ditetapkan; jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izin.
– Pasal 162: Ketentuan pidana bagi setiap orang “yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan” pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB;
– Pasal 169A,
– Pasal 169B: Jaminan perpanjangan KK dan PKP2B menjadi IUPK (tanpa evaluasi dan lelang).
Adapun gugatan uji materiil UU Minerba pada pekan lalu ini diajukan oleh dua organisasi sipil yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, serta dua warga sebagai pemohon yaitu Nurul Aini (46), warga dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dan Yaman, nelayan dari Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Bangka Belitung. CNBCINDONESIA