Jakarta, CNN Indonesia — Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025 yang baru diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo tak menyinggung soal penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Seperti dijelaskan dalam Pasal 1, Perpres Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025 itu merupakan dokumen yang memuat sasaran strategis untuk sebagai acuan pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia.
Dalam Perpres itu, aksi HAM dalam RANHAM harus dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
“RANHAM dimaksudkan sebagai pedoman bagi kementerian, lembaga, dan pemda dalam menyusun, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Aksi HAM,” demikian bunyi Pasal 2 ayat 2(a) Perpres tersebut, sebagaimana dikutip Senin (21/6).
Kemudian, RANHAM memuat sasaran strategis dalam rangka melaksanakan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap kelompok-kelompok seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat.
Kelompok sasaran itu dapat ditinjau kembali secara berkala atau sewaktu-waktu jika diperlukan sesuai dengan hasil evaluasi capaian pelaksanaan RANHAM dan/atau kebijakan pemerintah.
Dalam rangka menyelenggarakan RANHAM, maka dibentuk panitia nasional yang terdiri dari Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Kepala Bappenas, dan Menteri Luar Negeri.
“Panitia Nasional RANHAM dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia,” tulis Perpres tersebut.

Panitia nasional RANHAM bertugas untuk merencanakan, mengoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan RANHAM di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Kemudian menyampaikan laporannya kepada presiden, serta mempublikasikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM.
Berdasarkan penelusuran, baik di bagian utama Perpres maupun dua lampirannya, tak tercantum rencana penanganan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu; hal yang berulangkali dijanjikan Presiden di masa kampanye dan masa jabatannya.
Kata “pelanggaran HAM” hanya ditemukan dua kali pada Lampiran I terkait salah satu kelompok sasaran Perpres, yakni Kelompok Masyarakat Adat.
“Dasar pemikiran bahwa hingga saat ini belum tersedia kerangka perlindungan hukum yang memadai bagi Kelompok Masyarakat Adat dan pelanggaran hak atas lahan Kelompok Masyarakat Adat masih sering terjadi,” demikian bunyi petikan lampiran I itu.
Sisanya, hanya soal capaian penanganan kasus. “Adanya upaya penanganan dugaan pelanggaran HAM untuk perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan Kelompok Masyarakat Adat.”
Secara substansi, Perpres RANHAM 2021-2025 ini tak beda dengan Perpres RANHAM 2015-2019.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) sempat mengkritisi kebijakan RANHAM yang telah dilaksanakan selama lebih dari dua dekade.
“RANHAM 2015-2019 hanya berfokus pada program-program aksi yang menjadi rutinitas kementerian tanpa lebih jauh menjabarkan secara holistik persoalan HAM yang menuntut adanya kesalingterhubungan antara satu kementerian dengan kementerian lain, bahkan daerah,” tutur ELSAM, dalam laman resminya.
Selain itu, ELSAM menyebut Perpres itu tak menyentuh banyak persoalan HAM. Misalnya, “penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan akses pemulihan menyeluruh bagi korban”. CNNINDONESIA