HUKUMONLINE – Revisi UU ITE perlu dilakukan untuk menghindari kriminalisasi. Namun sebaiknya konsumen langsung menyampaikan keluhan kepada perusahaan penyedia jasa atau produk, bukan ke publik.
Berbagai kasus kriminalisasi konsumen yang mengeluhkan suatu layanan produk atau jasa di media sosial makin marak terjadi. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi momok yang kerap menjerat konsumen. Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dijadikan ancaman untuk menjerat konsumen yang memuat keluhannya di media sosial karena dianggap mengandung unsur penghinaan maupun pencemaran nama baik.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E Halim, mengatakan revisi UU ITE perlu dilakukan untuk menghindari kriminalisasi terhadap konsumen. “Penggunaan UU ITE sudah merenggut banyak korban. Padahal sebenarnya semangat UU ITE ini untuk menata kembali perkembangan ekonomi digital yang sangat pesat. Bukan jebakan. Pasal 27 Ayat 3 UU ITE ini sering bermasalah,” jelas Rizal dalam suatu diskusi online, Jumat (23/4).
Rizal menilai revisi tersebut diperlukan untuk memberi rasa keadilan kepada seluruh masyarakat. Bahkan, dia menyampaikan Presiden Jokowi sudah menyadari bahwa UU ITE perlu direvisi ditandai dengan perna memberikan amnesti kepada salah satu korban kriminalisasi UU tersebut. “Presiden sampai harus keluarkan amnesti karena Presiden sadar ada persoalan dengan penggunaan Pasal 27 ayat 3 ini,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi Advokasi BPKN Rolas B Sitinjak menyampaikan konsumen memiliki hak-hak yang dilindungi dalam UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak-hak konsumen tersebut antara lain hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Lalu hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
Konsumen juga berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Kemudian hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun, Rolas menyampaikan konsumen juga perlu berhati-hati saat menyampaikan pendapatnya di media sosial. Dia menyarankan konsumen sebaiknya langsung menyampaikan keluhannya kepada perusahaan penyedia jasa atau produk.
“Konsumen punya kesempatan untuk komplain. Itu diatur UU, tapi bukan (komplain) ke publik, melainkan ke perusahaan tersebut,” kata Rolas.
Dia menyampaikan complain tersebut dapat dibuat secara tertulis untuk disampaikan kepada perusahaan. Jika keluhan tersebut tidak ditanggapi perusahaan dan konsumen ingin menyampaikan keluhannya melalui media sosial maka dapat memuat nama perusahaan tersebut dengan inisial. Keluhan di media sosial ini bukan bermaksud menjatuhkan reputasi perusahaan melainkan agar masyarakat berhati-hati sehingga tidak jadi korban lain.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Edmon Makarim, mengimbau kepada masyarakat untuk mengetahui ruang publik dan privat. Edmon menyarankan agar keluhan konsumen tidak dipublikasi melalui media sosial sehingga dapat diketahui secara bebas oleh orang lain atau ruang publik.
“Sosmed bukan diary. Sosmed ruang publik. Jadi hati-hati di sana. Lalu kalau mau ngomongin orang lain, jangan langsung tembak nama, cukup dengan inisial,” jelas Edmon.