Mataram (Suara NTB) – Unram kembali menambah koleksi jumlah guru besar. Dr. T.M. Luthfi Yazid, S.H., LL.M., menambah jumlah guru besar setelah berhasil mempertahankan disertasi dengan judul “Tanggungjawab Konstitusional Negara Dalam Melindungi Hak Keagamaan Warga Negara” yang dipertahankan dalam sidang terbuka senat Universitas Mataram, Sabtu, 20 Februari 2021.
Sementara dari luar Universitas Mataram sebagai penguji adalah guru besar Universitas Andalas sekaligus hakim Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Saldi Isra dan Prof. Muhammad Aziz, PhD guru besar University of Tokyo yang juga menjadi Ketua Masyarakat Islam Indonesia (KMII) di Jepang dan Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4).
Luthfi Yazid, dalam paparannya menyampaikan demi konstitusi pemerintah harus memberangkatkan jemaah yang gagal berangkat umroh. Karena dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 jelas disebutkan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sementara Pasal 28 E menyebutkan “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Konstitusi adalah sebuah “perjanjian luhur” (nobel agreement) antara rakyat dengan negara. Rakyat memberikan kuasa kepada negara agar hak-haknya dilindungi. Inilah yang disebut dengan mandat konstitusi.
Sehingga ketika ada hak warga negara di dalam konstitusi, maka di sana ada kewajiban konstitusional negara. Ini kedudukannya simetris. Hak keagaamaan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E dan Pasal 29 UUD 1945 merupakan sebuah hak paling mendasar (fundamental rights) dari warga negara. Karena merupakan sebagai hak fundamental atau non-derogable rights maka tidak dapat dikesampingkan sama sekali. Salah satu hak keagamaan adalah, bagi umat Islam, menjalankan haji dan atau umroh.
Indonesia baru memiliki UU Haji dan Umroh pada zaman Presiden BJ Habibie. Jadi BJ Habibie sangat berjasa dalam memikirkan pelaksanaan haji dan umroh dengan diundangkannya UU No 17 Tahun 1999 tentang Haji dan Umroh. Sebelum itu yang digunakan adalah aturan kolonial yaitu Staatblad No 689 Tahun 1922.
Namun sayangnya, menurut hasil penelitian Luthfi Yazid, negara tidak memproteksi hak-hak jemaah umrah yang gagal berangkat yang jumlahnya ratusan ribu seperti jemaah kasus PT First Anugerah Karya Wisata atau PT First Travel (FT) di mana yang gagal berangkat mencapai 63.310 orang jemaah maupun PT Amanah Bersama Umat atau PT Abu Tours (AT) yang mencapai 86.720 jemaah korban.
“Segala upaya hukum, baik pidana, perdata maupun kepailitan semuanya buntu, tidak membuahkan hasil. Jemaah tetap tidak berangkat, uangnya tetap tidak kembali. Pemerintah membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI),” ungkapnya.
Meskipun terdiri dari 13 lembaga negara dan kementeriaan seperti Kementerian Agama, Kemendagri, Kapolri, OJK, Kemendag, Kemenkominfo, Kementerian Koperasi, BKPM, Kemendikbud, Kemenristek, dan PPATK, tapi SWI sangat lemah dan tidak memiliki legal seat yang kuat. SWI gagal memberikan solusi terhadap kegagalan massif jemaah umroh.
Padahal jika dilihat dari postur kelembagaan SWI seharunya powerful dan minimal memberikan alternatif solusi. Namun semuanya tidak terjadi. Dalam kasus First Travel, misalnya, di dalam putusan lembaga peradilan tertinggi di negeri ini yakni Mahkamah Agung, aset yang berasal dari uang jemaah justeru disita dan diambil negara.
Padahal aset tersebut bukan hasil dari uang korupsi, padahal berdasarkan Pasal 117 UU No 8/2019 tentang Haji dan Umroh disebutkan bahwa uang jemaah tidak boleh diambil oleh siapapun, termasuk negara, tapi dari kantong para jemaah yang banyak di antara mereka hanya pedagang, satpam, penjual sayur, pensiunan, buruh dan sejenisnya. Di mana keadilan?
“Dalam kasus kegagalan massif jemaah First Travel negara tidak hadir meskipun Menteri Agamanya baik Menag Lukman Syaefuddin maupun Fahrul Rozi memerintahkan agar semua jemaah yang gagal berangkat itu diberangkatkan atau uangnya dikembalikan. Menteri Agama Lukman mengeluargan KMA No 589/2017 sedangkan Menteri Agama Fahrul Rozi menyampaikan janjinya untuk memberangkatkan jemaah secara bertahap dalam rapat dengan Komisi VIII DPR RI,” jelasnya.
Kenyataannya, sudah lebih dari empat tahun tidak ada satu pun jemaah yang gagal berangkat yang diberangkatkan negara, bahkan tidak sedikit yang stress dan meninggal tanpa kejelasan. Padahal para jemaah itu ingin menapakkan kakinya, hadir ke Baitullah di Mekkah, ke Rumah Tuhan meski hanya sekali dalam hidupnya.
Diskriminatif
Dalam pandangannya, pada kasus yang lain sesama perseroan terbatas (PT) negara justeru pasang badan dan menalangi perusahaan yang bermasalah dan menggantinya kepada korban yang mengalami kerugian, penderitaan. Sebutlah misalnya dalam kasus PT Lapindo dengan kerugian hampir satu trilliun rupiah. Atau juga PT Bank Century dengan kerugian Rp6,76 trilliun atau juga PTAsuransi Jiwasraya dengan kerugian Rp22 triliun.
“Dalam kasus-kasus itu negara hadir dengan ceria dan ringan tangan. Mengapa dalam kasus First Travel maupun Abu Tours negara alpa,” sambungnya.
Dari hasil penelitian itu, TM. Luthfi Yazid merekomendasikan negara dengan organnya yang disebut pemerintah punya peluang dan kesempatan untuk memberangkatkan jemaah yang gagal berangkat secara massif itu dengan menggunakan dasar 86 UU Haji dan Umroh. Berdasarkan Pasal tersebut Presiden RI mengeluarkan penetapan Presiden ataupun Kepres dan menetapkan bahwa kegagalan massif yang mencapai ratusan ribu jemaah itu sebagai keadaan darurat dan luar biasa. Atas dasar itu pemerintah memberangkatkan para jemaah yang gagal berangkat itu.
Selain itu, TM. Luthfi Yazid merekomendasikan agar dilakukan review ( regulation reform) atas semua norma dan aturan terkait pelaksanaan umroh. Jika ada yang inkoheren dengan mandate konstitusi maka mesti direvisi, diamandemen atau dicabut. Anjuran agar dilakukan digitalisasi penyelenggaraan umroh juga menjadi saran dalam disertasi tersebut.
Dengan digitalisasi biaya umroh dapat ditekan murah, jemaah dapat menentukan sendiri kapan akan berangkat umroh dan kapan akan kembali ke tanah air. Juga dapat menentukan akan transit, misalnya di Istanbul, Kairo atau Dubai, sambil istirahat. ‘’Semuanya dapat diatur dan dilaksanakan secara digital,’’ tandas peraih gelar Doktor dalam bidang hukum dengan predikat cum laude ini.
Perbandingan dengan negara lain juga dilakukan dalam studi ini. Yakni perbandingan dengan Malaysia, Singapore, Jepang, Korea Selatan dan Hongkong.
Kalau negara memilih untuk tidak memberangkatkan jemaah umrah yang gagal berangkat itu, berarti negara memilih untuk melakukan tindakan inkonstitusional. Kecuali pemerintah memilih untuk tidak mentaati konstitusi, pasti negara tidak akan akan memberangkatkan jemaah yang ingin bersimpuh di Baitullah di Mekkah Al Mukarromah.