REPUBLIKA – “Kalau ada orang mengancam saya maka itu salah alamat!” Demikian jawaban Artidjo Alkostar dalam beberapa kesempatan saat ditanya wartawan. Itu diucapkan soal kemungkinan orang yang mengancam hidupnya karena keberanian memutus perkara saat ia menjabat hakim agung.
Perawakan Artidjo memang kecil dan berkaca mata tebal, tetapi nyalinya sangat besar. Ini ia tunjukkan bukan saat menjadi hakim agung, melainkan sejak aktif sebagai advokat di LBH Yogyakarta.
Ia sering mengalami ancaman saat menangani kasus sensitif pada masa Orde Baru. Di antaranya, kasus penembakan misterius atau petrus tahun 1982-1985, insiden Dili 12 November 1991.
Campuran kultur Madura, gemblengan saat menjadi aktivis HMI di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), serta tempaan saat bergabung dengan LBH Yogyakarta, menjadikan Artidjo yang berperawakan kecil, tapi bernyali besar.
Kecintaannya pada ilmu mengagumkan. Tak heran bila di rumah atau kendaraannya yang butut selalu dipenuhi buku, koran, dan majalah. Kecermatannya dalam membaca, pengalamannya dalam penegakan hukum dan keadilan, ia tuangkan dalam tulisan. Sifat lain Artidjo, sederhana dan tak berambisi pada jabatan. SHARE
Dalam soal menulis buku, setelah pensiun ia berjanji menulis tentang Hukum Profetik, lebih mendalam lagi dari buku-buku yang ia tulis sebelumnya, seperti Metode Penelitian Hukum Profetik (FH UII Press, 2018).
Petualangan dan kecintaan pada ilmu mengantarnya ke Columbia University di New York, AS. Melalui aktivis Amnesty International, Sydney Jones, Artidjo mendapat tawaran belajar bahasa Inggris dan bekerja di Human Rights Watch Division.
Artidjo sempat menimba pengalaman setahun di sana sekitar 1989. Semangat belajarnya terus menyala meski sudah diangkat jadi hakim agung. Pada 2001, ia melanjutkan studi master hukum (LL.M) di Northwestern University, Illinois. Jenjang doktor hukum pun ia selesaikan di Universitas Diponegoro pada 2007.
Sifat lain Artidjo, sederhana dan tak berambisi pada jabatan. Pada awal ia terpilih sebagai hakim agung, seniornya Adnan Buyung Nasution memanggilnya bersama Abdul Rahman Saleh (biasa dipanggil Arman). Keduanya, junior Buyung Nasution di LBH.
Dalam pertemuan tiga tokoh pada malam hari itu –saya turut diminta mendampingi, Buyung berharap salah satu dari mereka mencalonkan diri sebagai ketua Mahkamah Agung. Keduanya tak bersedia. Peristiwa itu terjadi sekitar April 2001. Pada awal-awal kariernya sebagai hakim agung, karena kesederhanaannya, Artidjo sering berangkat ke kantor dengan kendaraan umum, termasuk naik bajaj. SHARE
Akhirnya, Presiden Gus Dur menentukan Bagir Manan menakhodai MA pada awal Mei 2001, setelah enam bulan posisi ketua kosong dan menjadi perdebatan antara eksekutif dan legislatif.
Tak terlalu lama, Arman menjadi hakim agung, diangkat Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai jaksa agung, lalu dubes di Denmark sampai pensiun. Sementara itu, Artidjo meneruskan pengabdiannya sebagai hakim agung sampai menduduki posisi ketua kamar bidang pidana di MA.
Pada awal-awal kariernya sebagai hakim agung, karena kesederhanaannya, Artidjo sering berangkat ke kantor dengan kendaraan umum, termasuk naik bajaj.
Saat Artidjo indekos di dekat kali di daerah Kwitang, di belakang toko buku Gunung Agung, Arman berkata kepadanya, “Edan ini orang! Kalau kebanjiran bagaimana? Dia memang Spartan. Tahan miskin,” kata Arman.
MA yang sebelumnya terkesan elitis dan dalam beberapa hal dipandang miring oleh publik karena ada beberapa oknum hakim ataupun panitera ditangkap KPK, reputasi dan kehadiran Artidjo seolah menaikkan nilai rapor MA dan memberikan harapan baru bagi para pencari keadilan. Di pintu kamar kerjanya di MA tertulis, “Tidak Menerima Tamu Urusan Perkara”. Pesan itu ditujukan kepada siapa pun. SHARE
Sosoknya demikian ditakuti koruptor karena begitu perkaranya di tangan Artidjo, jangan berharap mendapat pengurangan hukuman, justru hukumannya diperberat. Artidjo, tanpa kompromi. Ia orang yang berintegritas, konsisten, bernyali, dan religius.
Di pintu kamar kerjanya di MA tertulis, “Tidak Menerima Tamu Urusan Perkara”. Pesan itu ditujukan kepada siapa pun dan menjadi pesan juga bagi semua insan di MA, bahwa dirinya tidak dapat berkompromi terkait nilai-nilai keadilan suatu perkara, khususnya yang ditanganinya.
Pesan Alquran, surah an-Nisa 58, “Wa idzaa hakamtum baynannash antahkumu bil adl”, merasuk dalam jiwa Artidjo. Inti pesan itu adalah perintah menegakkan keadilan kepada siapa pun. Tidak ada perbedaan, baik kelompok, ras, agama, maupun lainnya.
Sebelum pensiun, Artidjo sering berkata kepada publik akan memelihara kambing di desanya, yaitu Desa Jangkar, Kabupaten Situbondo, dan mengelola warungnya di Sumenep. Namun nasibnya, setelah ia pensiun, tetap membawanya berkiprah di dunia hukum. Artidjo kuat menghadapi ancaman dan teror dari oknum yang tak menyukainya, tapi tak berdaya menghadapi kesehatan fisiknya yang menurun. SHARE
Ia terpilih sebagai salah satu Dewan Pengawas KPK. Badannya yang semakin menua dan melemah rupanya menjadi persoalan bagi dia.
Artidjo kuat menghadapi ancaman dan teror dari oknum yang tak menyukainya, tapi tak berdaya menghadapi kesehatan fisiknya yang menurun. Beberapa waktu lalu, ia datang sendiri tanpa dikawal siapa pun ke Jogjakarta International Hospital (JIH), untuk memeriksakan kesehatannya.
Rupanya Tuhan yang selalu ia sebut dalam zikir dan shalatnya sangat rindu pada penegak keadilan ini. Ahad, 28 Februari 2021, pukul 14.00 WIB, ia dipanggil pulang keharibaan-Nya. Selamat jalan sang penegak keadilan, pembela kaum lemah.
Penulis: TM LUTHFI YAZID, Praktisi Hukum
Setelah membaca hasil karya tulis ini justru lebih memperkuat tekat saya untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat NKRI, khusus rakyat kecil.