Kompas.com – Sejumlah aktivis perempuan dan tindak kekerasan mendesak perkara dugaan penganiayaan oleh anggota DPR RI Masinton Pasaribu berlanjut di Bareskrim Polri. Dita Aditia, korban kekerasan Masinton memang sudah mencabut pengaduan ini.
Namun, menurut Direktur LBH Apik Ratna Batara Murti, tindak hukum atas penganiayaan dapat berlanjut meski tanpa laporan. “Kepolisian harusnya tetap memproses. Jangan ketika dicabut oleh korban berhenti padahal pencabutannya dilandasi oleh persoalan tekanan dari keluarganya, Masinton, dan massanya,” ujar Ratna di kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Kedatangan Ratna dan sejumlah LSM lain untuk menyerahkan petisi online di change.org ke Polri yang isinya mendukung berlanjutnya proses hukum terhadap Masinton. Ratna mengatakan, terlihat jelas bahwa Dita dibawah tekanan ketika mencabut laporan.
LBH Apik yang mengawal kasus Dita pun tak diberitahu mengenai rencana pencabutan laporan. Dengan demikian, polisi semestinya mempertimbangkan relasi kekuasaan dan ekonomi di balik pencabutan laporan Dita.
Jika kasus Dita dibiarkan, maka bermunculan kasus serupa yang pada akhirnya tidak tuntas penanganan hukumnya. “Kalau kayak begini, selamanya hukum tidak bisa menyentuh orang kaya, orang yang punya kekuasaan, karena akan dilarikan dengan model seperti ini,” kata Ratna.
Seperti kasus Dita, banyak juga korban yang diiming-imingi ganti rugi berupa materi agar proses hukum tak berlanjut. Namun, menurut Ratna, ganti rugi tak bisa disamakan dengan “uang damai”.
Ia menilai, masih belum ada perlindungan maksimal bagi perempuan yang bekerja di lingungan dengannkekuasaan tertentu. Dengan demikian, perbuatan semena-mena pejabat untuk menganiaya bawahannya masih sangat mungkin terjadi ke depan.
Ratna meminta polisi tegas mengedepankan prinsip kesamarataan di hadapan hukum. Ia meyakini polisi memiliki kemampuan dan kewenangan penuh menuntaskan perkara Masinton. “Ketika sudah dicabut, ya sudah. Tidak ada pelajaran ke masyarakat. Apapun kompensasinya, harus lewat jalur hukum,” kata Ratna.
(Kongres Advokat Indonesia)