DETIK.COM – Gisella Anastasia alias Gisel dan Michael Yukinobu Defretes (Nobu) menjadi tersangka UU Pornografi karena melakukan hubungan seksual direkam dan tersebar. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan merekam video untuk diri sendiri adalah tanggung jawab si perekam dengan Tuhan namun ketika video itu tersebar, maka perekam dan yang direkam harus bertanggungjawab.
Pasal yang disangkakan ke Gisel-Nobu ditentang sejumlah penggiat masyarakat, termasuk Komnas Perempuan. Namun perdebatan itu telah ditutup oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor Nomor 48/PUU-VIII/2010.
Putusan itu diketok atas permohonan pengacara Farhat Abbas yang melaporkan Luna Maya-Cut Tari ke Polda Metro Jaya soal video asusila dengan Ariel. Pasal 4 UU Pornografi berbunyi:
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1):
Yang dimaksud dengan ‘membuat’ adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri
Pasal 6 UU Pornografi berbunyi:
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Penjelasan Pasal 6 berbunyi:
Larangan ‘memiliki’ atau ‘menyimpan’ tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
MK dalam putusannya menyatakan merekam video untuk diri sendiri adalah tanggung jawab si perekam dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tapi ketika video itu tersebar, baik sengaja atau tidak sengaja, maka perekam dan yang direkam harus bertanggungjawab.
“Jika ada aturan agama apa pun yang melarang penganutnya membuat sesuatu yang mengandung pornografi, maka selama itu hanya untuk dirinya, hal tersebut merupakan tanggung jawab pribadinya terhadap Tuhannya sesuai dengan agamanya,” demikian bunyi pertimbangan Putusan MK yang dikutip detikcom, Senin (4/1/2021).
Di lain pihak, ada golongan dalam masyarakat yang tidak melarang membuat, menyimpan, atau memiliki sesuatu yang mengandung pornografi. Bagi masyarakat yang tidak melarang, maka wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
“Dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945),” ujarnya.
MK menegaskan, masyarakat yang tersebut terakhir harus tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan UU dalam rangka menghormati hak asasi orang lain.
“Sehingga tidak boleh membuat, memiliki atau menyimpan sesuatu yang mengandung pornografi di luar untuk diri sendiri atau kepentingan sendiri,” tegas MK.
Menurut Mahkamah, antara pasal dan penjelasan pasal di UU Pornografi bukanlah hal yang bertentangan melainkan pembatasan atau pengecualian. Kalau diperhatikan dengan cermat, kata MK, redaksi Pasal 4 ayat (1) merupakan perbuatan-perbuatan yang memang bukan untuk kepentingan sendiri. Sehingga dalam Penjelasannya khusus kata ‘membuat’ diberi pembatasan bahwa yang dimaksud adalah tidak termasuk ‘membuat’ untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
“Begitu pula Pasal 6 dan Penjelasannya tidak bertentangan satu sama lain, melainkan sebagai pembatasan atau pengecualian,” ujarnya.
MK menilai, dari dua ketentuan yang dimohonkan pengujian itu, tidak ada persoalan inkonstitusionalitas dan tidak mengandung kontradiksi sepanjang dimaksudkan untuk kepentingan diri sendiri. MK memutuskan menolak permohonan dan menyatakan UU Pornografi konstitusional dan tetap berlaku mengikat.
“Undang-Undang a quo (UU Pornografi-red), antara lain, dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama, melindungi setiap warga negara, mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat, serta memberikan ketentuan yang jelas tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara yang disertai dengan sanksi pidana tertentu,” pungkas majelis.