Hukumonline – Menurut Mahkamah, adanya syarat minimal untuk menjadi advokat yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bukan bentuk diskriminasi karena penentuan usia tersebut tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, maupun keyakinan politik.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian Pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait syarat usia minimal 25 tahun menjadi Advokat. Permohonan ini diajukan oleh Wenro Haloho, seorang advokat magang. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar Putusan MK bernomor 83/PUU-VIII/2020 di ruang sidang MK, Rabu (25/11/2020) seperti dikutip laman MK.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat, Pemohon mendalilkan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan permohonan ini berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Namun menurut Mahkamah, substansi alasan permohonan yang dijadikan dasar adalah sama dengan perkara Nomor 019/PUU-I/2003 yang telah diputus Mahkamah yaitu berkenaan dengan usia minimal untuk menjadi advokat.
“Karena itu, Mahkamah mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019/PUU-I/2003 bertanggal 18 Oktober 2004 dengan amar putusan menyatakan menolak permohonan Pemohon,” ujar Hakim Konstitusi Daniel Yusmic saat membacakan pertimbangan putusan.
Pemohon mendalilkan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon pasal tersebut menimbulkan diskriminasi bagi sarjana hukum yang telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Namun belum berusia 25 tahun, padahal memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk menjadi seorang advokat.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah dalam putusannya telah menegaskan bahwa diskriminasi adalah memperlakukan hal yang sama terhadap suatu yang berbeda atau memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya, bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda.
Peraturan yang bersifat diskriminatif adalah apabila peraturan itu membuat perlakuan berbeda semata-mata didasarkan atas ras, etnik, agama, status ekonomi, ataupun status sosial lainnya sebagaimana dimaksud oleh pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Menurut Mahkamah, adanya syarat minimal untuk menjadi advokat yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bukanlah suatu bentuk diskriminasi karena penentuan usia tersebut tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, maupun keyakinan politik.
Bagi Mahkamah, ketentuan tersebut justru untuk menjamin agar seorang advokat memiliki kematangan emosional atau psikologis, selain kemampuan di bidang akademik. Karena itu, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Terlepas dari alasan permohonan yang dikemukakan Pemohon, petitum Pemohon yang memohon agar “Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, justru akan menyebabkan tidak adanya pengaturan mengenai batas usia minimal untuk dapat menjadi advokat.
Sebelumnya, Permohonan ini diajukan oleh Wenro Haloho, seorang advokat magang. Melalui kuasa hukum Dora Nina Lumban Gaol, Pemohon mengajukan uji materi Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat yang berbunyi, “berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.”
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pemohon telah melakukan magang secara terus-menerus pada kantor advokat terhitung sejak 23 Februari 2019–23 Februari 2021. Namun pada akhir magang nanti, Pemohon masih belum mencapai usia minimal untuk diangkat menjadi advokat sebagaimana disyaratkan norma yang diuji.
Pemohon baru genap berusia 25 tahun pada 29 November 2021 untuk dapat menjadi seorang advokat, sehingga terdapat waktu selama 9 bulan baginya dengan tidak memiliki pekerjaan.
Adanya pasal tersebut dinilai Pemohon menciptakan ketidaksamaan dalam hukum karena adanya perbedaan kedudukan untuk menjadi advokat bagi yang belum berusia 25 tahun.
Keadaan ini tentu tidak sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, berpedoman pada Putusan MK Nomor 019/PUU-I/2003 yang pada intinya menyatakan pembatasan usia minimal bagi calon advokat dapat disimpulkan pada dua kategori yaitu kematangan emosional/psikologi dan kematangan akademik.
Pemohon berpendapat jika tujuan pembatasan usia untuk meningkatkan kematangan akademik, maka yang menjadi perhatian seharusnya lama waktu magang dan bukan usia minimal calon advokat. Karena kematangan akademik, tetap dapat tercapai tanpa melimitasi usia minimal calon advokat.