FDHI menyatakan UU Jabatan Hakim perlu segera dibentuk untuk menjamin bahwa hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman benar-benar mandiri, bebas dari intervensi kekuasaan pemerintah. Hingga kini, beberapa aspek terkait jabatan hakim sepertipengangkatan hakim, hak keuangan, jenjang karier/kepangkatan, dan fasilitas masih mengikuti standar aturan bagi pegawai negeri sipil (PNS).
Salah satu Koordinator FDHI, Djoe Hadisasmito mengatakan pembentukan UU Jabatan Hakim sebenarnya merupakan amanat Pasal 19 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan itu menyebutkan hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman diatur undang-undang.
“(UU Jabatan Hakim) Ini mengatur bagaimana hakim sebagai pelaku utama kekuasaan kehakiman, bagaimana rekrutmennya, pembinaan, pengawasan, jaminan perlindungan keamanan, hak dan kewajibannya. Sebab, selama ini belum ada undang-undang yang mengatur khusus jabatan hakim,” ujar Djoe saat dihubungi hukumonline, Kamis (5/3).
Dia mengungkapkan sejumlah paket undang-undang di bidang peradilan yang terbit tahun 2009, termasuk UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, hanya mengatur secara umum mengenai profesi jabatan hakim ini. “Undang-undang itu masih sepotong-potong, campur aduk yang juga mengatur hukum acara, panitera pengadilan, juru sita,” kata dia.
Menurutnya, rekrutmen hakim sebagai ‘Wakil Tuhan’ ini harus lebih ketat daripada rekrutmen pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau komisioner Komisi Yudisial (KY). Faktanya, hingga kini rekrutmen hakim masih menggunakan sistem seleksi CPNS karena memang aturan jabatan hakim pejabat negara belum jelas.
“Manusia yang terpilih menjadi hakim harus primus interpares, unggul. Misalnya, salah satu metode seleksinya menjaring lulusan fakultas hukum terbaik. Makanya, dibutuhkan pengaturan dengan UU Jabatan Hakim itu,” ungkap Hakim Pengadilan Negeri Dompu Nusa Tenggara Barat ini.
Dikatakan Djoe, kebutuhan akan UU Jabatan Hakim jangan dipandang sebagai tuntutan para hakim yang menginginkan hak lebih, tetapi semata-mata agar pengangkatan, jenjang karier, pembinaan, pengawasan hakim sebagai pejabat negara lebih jelas.
Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengatakan urgensi UU Jabatan Hakim sangat tinggi terutama sejak sejumlah paket undang-undang peradilan menyebut hakim sebagai pejabat negara. Sebab, hingga saat ini konsekuensi pengaturan hakim sebagai pejabat negara belum ada.
“Bukan hanya sekadar status pejabat negara, tetapi sistem rekrutmen, kepegawaian, kepangkatan, penggajian tidak jelas. Sampai sekarang tidak ada undang-undangnya,” kata Arsil.
Diakuinya pengaturan hakim sebagai pejabat negara sebagian sudah diatur dalam undang-undang paket peradilan. Namun, ada beberapa hal yang belum diatur sama sekali pasca penyatuan atap dari Kementerian Hukum dan HAM ke MA pada 2004.