TIMESINDONESIA, MALANG – Secara de jure atau konstitusional, Indonesia ini memang sebagai negara hukum, negara yang berbasiskan norma, yang tanpa kecuali (sebagaimana asas equality before the law atau persamaan pertanggungjawaban di depan hukum), setiap orang, tanpa membedakan klas, status ekonomi, dan kedudukan social-politiknya harus mempertanggungjawabkan atau dipertanggungjawabkan perbuatannya jika melanggar norma hukum.
Ketika masih banyak ditemukan kasus pelanggaran norma yuridis, padahal negara ini secara konstiusionalitas menganut prinsip negara atas dasar hukum atau berkedudukan sebagai negara hukum, maka logis jika kemudian lahir banyak stigma atau label yang kurang menyenangkan untuk diterima.
Label kurang menyenangkan itu diantaranya, bahwa di negara ini lagi atau masih mengalami krisis negarawan hukum, yakni sosok yang teguh pendirian dalam melaksanakan atau menegakkan norma-norma yuridis di tengah tantangan apapun yang terjadi.
Krisis itu ditandai dengan stigma lain yang sangat kurang menyenangkan, bahwa seolah negara ini pantas diberi gelar pula sebagai negeri tanpa tatatanan, karena negeri ini sepertinya sebagai “state without law” atau negeri tanpa hokum, yang sebenarnya negara dengan mempunyai banyak produk yuridis, namun dalam faktanya kurang dihormatinya dengan pembuktian banyaknya atau beragamnya subyek sosial, politik, yuridis, dan lainnya yang memilih jalur sebagai “pembangkang-pembangkang” yuridis, baik yang berkadar kecil maupun “sangat istimewa” (extra ordinary).
Faknya, diskriminasi hukum masih menjadi penyakit laten yang dipelihara dan dilestarikan. Praktik mafia peradilan masih demikian kuat menodai dan bahkan menghemoni kesucian keadilan dan harkat kemanusiaan. Kita bisa membuktikannya sendiri betapa keadilan masih demikian mudah dipermainkan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan berlakukanya prinsip keadilan untuk semua (justice for all).
Kalangan Mafioso peradilan misalnya masih atau telah demikian lama mencabik-cabik kewibawaan hukum, mengamputasi kejujuran, dan mendestruksi setiap segmen pencari dan pendamba keadilan. Mereka dengan kemampuan atau kekuatannya dapat secara leluasa mencari “mitra” yang bisa diajak menjungkir balikkan tatanan norma dan mengeliminasi keadilan.
Kaum berduit dan penguasa hingga sekarang (yang bisa kita baca dan cermati) masih tetap sebagai pemegang kartu truf yang memainkan atau merekayasa kinerja peradilan, pasal apa yang digunakan, dan barang bukti apa yang perlu dilenyapkan, dan kemana arah palu hakim diketokkan. Mereka ini menjadi pemain-pemain andal yang mampu atau dapat “menghitamputihkan” realitas fakta-fakta hukum menjadi instrumen strategis untuk melancarkan atau memuluskan apa yang diinginkannya, sehingga apa yang idealitas dalam kata-kata ayat atau pasal peraturan perundang-undangan dibuatnya kehilangan makna (meaningless).
Miskinnya jiwa kenegarawanan hokum jelas dapat dan sudah terbukti membuat derita bangsa ini berkepanjangan dan komplikatif, artinya penderitaan bangsa ini, disamping menghadapi penderiataan secara fisik (seperti sakit), juga secara moral dan psikologis. Mereka identic diterpurukkan atau dibuat tidak berdaya oleh para pemain-pemain yang dengan teganya menyingkirkan makna keagungan, kesederajatan, dan kejujuran yuridis.
Dalam ranah itu, kekuatan strategisnya jelas bukan sibuk berkorban demi kepentingan rakyat, tapi sibuk jadi subyek (pemain) yag suka mengorbankan, bangga jadi “preman struktural”, dan gemar menabur watak kleptokratik atau dehmanistik dimana-mana. Mereka ini sibuk mengorbankan (menkomoditi dan mengeksploitasi serta kalau perlu melahap habis-habisan) hak-hak rakyat.
Mereka yang masih berlaku seperti itulah yang harus terus dilawan oleh seluruh elemen bangsa ini, khususnya oleh anak-anak muda, bahwa konstruksi negara ini harus terus dijaga atau diperkuat oleh tangan-tangan saktinya, kekuatan kritisnya, atau idealismenya yang menyala benderang.
Anak-anak muda tidak boleh diam melihat realitas yang berlawanan dengan norma yuridis. mereka harus terus menggunakan hak konstitusionalitas, diantaranya dengan menyuarakan dan menggelorakan pemberlakukan hukum yang obyektif dan manusiaawi demi keadilan.
Tanpa mereka itu yang jadi negarawan, jangan berharap banyak negeri ini masih akan memberikan yang terbaik untuk rakyat. Mungkin masih ada yang diberikan negara ini pada rakyat, tapi bukanlah pemberian terbaik, karena yang terbaik atau sngat dibutuhkan oleh rakyat, diantaranya keadilan, masih digenggam atau dicengkeram oleh para pemain-pemain yang tidak menyukai hokum tegak lurus di negara ini.
*)Penulis: Anang Sulistyono, Doktor Ilmu Hukum dan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
Baca Juga : Viral, Polisi Makan Siang Bersama Wanita Tunawisma di Pinggir Jalan