Hukumonline.com – Kini, kantor advokat atau law firm bertebaran di Indonesia, khususnya kota besar seperti DKI Jakarta. Kiprah mereka yang dengan mudah kita bisa ketahui melalui media massa, baik itu cetak maupun elektronik, sedikit banyak mempengaruhi perkembangan hukum di Republik ini. Sayangnya, sedikit – untuk tidak mengatakan nihil – literatur atau sumber referensi yang merekam sejarah perkembangan law firm di Indonesia.
Tulisan Ahmad Fikri Assegaf dalam Jurnal Hukum dan Pasar Modal volume VII/Edisi 10 Juli – Desember 2015 yang diterbitkan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dengan tema “Advokat, Kantor Hukum dan Dinamika Bisnis di Indonesia” merupakan salah satu dari yang sedikit itu.
Managing Partner sekaligus Pendiri Law Firm Assegaf, Hamzah & Partners itu mengupas cukup detail sejarah law firm di Indonesia. Ironisnya, diakui dalam tulisan itu, Fikri sangat mengandalkan literatur atau terbitan luar negeri yang justru memiliki data dan informasi yang cukup lengkap tentang sejarah law firm di Indonesia. Selain itu, Fikri juga melakukan survei terbatas dan diskusi dengan para kolega advokat.
Dalam tulisan berjudul “Besar Itu Perlu: Sejarah Perkembangan Kantor Advokat Modern di Indonesia”, Fikri fokus pada perkembangan law firm modern yang dia definisikan “kantor advokat yang berbentuk perkumpulan perdata ataupun firma yang menerapkan prinsip-prinsip administrasi dan pengeloaan organisasi modern”.
Dalam tulisan tersebut, secara sistematis, Fikri membagi perkembangan law firm modern di Indonesia menjadi tiga generasi. Berikut ringkasannya:
1. Generasi Pertama
Menurut Fikri, UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing memiliki pengaruh cukup besar dalam mendorong lahirnya law firm-law firm modern di Indonesia. Kantor Ali Budiarjo Nugroho Reksodiputro (ABNR) tercatat sebagai kantor advokat modern pertama yang berdiri di Indonesia, yakni tahun 1967.
Kantor ini didirikan oleh Ali Budiarjo bersama Mardjono Reksodiputro yang baru pulang studi dari Amerika Serikat (AS). Klien pertama mereka adalah perusahaan tambang, PT Freeport Indonesia. Dua tahun berselang, kantor Adnan Buyung Nasution & Associates (ABNA) berdiri.
Lalu disusul dengan kantor Del Juzar & Partners yang didirikan oleh Delma Juzar (1970) dan Mochtar, Karuwin, Komar (MKK) yang didirikan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Pada awal pendiriannya, MKK sempat bekerjasama dengan kantor advokat asing asal AS yang sudah memiliki kantor di Bangkok, Thailand, Kirkland Kaplan and Associates.
Saat itu, pengaruh AS dalam kebangkitan ekonomi Indonesia begitu kuat yang ditandai dengan masuknya program-program bantuan seperti Ford Foundation. Selain itu, law firm AS pun mulai merambah Tanah Air dalam rangka mendampingi para investor dari Negeri Paman Sam.
Satu per satu advokat asing diantaranya berasal dari AS atau Australia juga mulai hadir untuk bekerja di law firm-law firm Indonesia.
Turut menjadi bukti besarnya pengaruh negara barat bagi perkembangan law firm Indonesia pada generasi pertama adalah mulai diterapkannya mekanisme penentuan biaya hukum dalam dolar AS yang sampai sekarang masih berlangsung.
2. Generasi Kedua
Berlangsung sekitar pertengahan 1980-an generasi kedua adalah momen dimana law firm modern mulai memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi dan komputer, termasuk internet. Fikri mencatat generasi kedua dimotori oleh para advokat muda dan bersemangat.
Sejak akhir 1980-an, banyak dari kantor-kantor tersebut mulai menggunakan komputer personal untuk masing-masing advokat yang terhubung melalui jaringan. Umumnya, dimulai dengan komputer rakitan yang terhubung melalui jaringan peer to peer. Selanjutnya dengan beroperasinya penyedia jasa internet pada awal 1990-an, email dan jaringan dengan server khusus pun mulai digunakan.
Yang menarik, kebanyakan law firm yang hadir pada era generasi kedua lahir dari “rahim” kantor ABNA. Mereka adalah, Lubis, Ganie, Surowidjojo (LGS) pada 1985, Hadiputranto Hadinoto & Partners (HHP) pada 1989, Makarim & Taira (M&T) pada 1980, Lubis, Santosa, Maulana (LSM) pada 1986, Kusnandar & Co (KC) pada 1980, Suwito Suhardiman Eddymurthy Kardono (SSEK) pada 1992, Tumbuan & Partners (TP) pada 1981, Kartini Muljadi & Rekan (KMR) tahun 1990 dan sebagainya.
Menurut Fikri, merujuk pada beberapa publikasi luar negeri, HHP menjadi law firm dengan jumlah advokat terbanyak pada akhir tahun 1990, yakni 58 orang. Saat itu, perekonomian nasional tengah dalam kondisi bagus. Sejalan dengan program liberalisasi ekonomi melalui paket kebijakan ekonomi yang mempermudah pendirian bank, melalui Kebijakan Paket Oktober 1988, tatanan bisnis berubah signifikan. Di samping dominasi investor asing yang masih terasa, pengusaha domestik mulai tumbuh.
Kantor advokat yang sebelumnya mengandalkan investor asing, harus bisa beradaptasi dengan pengusaha lokal. Tipe investor asing juga mulai berubah. Dari awalnya didominasi oleh pertambangan dan migas, menjadi lebih bervariasi dengan aktifnya lembaga keuangan, tumbuhnya pasar modal, serta dimulainya proyek-proyek pembangunan di berbagai sektor.
‘Benang merah’ persamaan antara law firm modern generasi pertama dengan generasi kedua adalah mayoritas law firm memiliki partner (mitra) lebih dari satu orang. Pola kemitraan dalam law firm ternyata mampu bertahan hingga zaman sekarang.
3. Generasi Ketiga dan Selanjutnya
Menurut Fikri, kelahiran generasi ketiga dimulai sejak awal periode 1990-an. Fakta menarik yang muncul adalah beberapa law firm yang ‘embrionya’ berasal dari ABNA seperti LGS dan HHP, turut mendorong lahirnya law firm-law firm baru di awal 2000-an.
Dari segi tantangan, generasi ketiga dan selanjutnya menghadapi medan yang relatif berbeda. Law firm-law firm pada generasi ini mengalamiboom ekonomi pada awal 1990-an, krisis ekonomi pada awal 1998, kemudian sampai kembali ke boom ekonomi kedua yang diawali dengan naiknya harga komoditas tambang dan minyak.
Fluktuasi kondisi ekonomi Indonesia disertai dengan tantangan lain seperti masuknya law firm-law firm asing menjadi cobaan tersendiri bagi law firm pada generasi ini. Perubahan yang konstan dan tantangan baru yang lahir dari perubahan tersebut membuat lapangan bermain bagi kantor dari berbagai generasi menjadi tidak terlalu berbeda.
Mengamati perkembangan law firm-law firm modern Indonesia dari generasi ke generasi, Fikri memberikan catatan khusus tentang minimnya data dan informasi dari institusi dalam negeri. Data dan informasi ini, menurut Fikri, seharusnya dapat menjadi parameter untuk mengukur kondisi dan perkembangan law firm Indonesia.
Padahal, UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengakui eksistensi kantor advokat. Pengakuan ini muncul ketika UU Advokat mengatur larangan advokat asing membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia, proses magang dan kewajiban untuk memberitahu organisasi profesi, pengadilan negeri dan pemerintah daerah ketika membuka atau pindah alamat atau berganti kantor.
“Namun sayangnya, pengakuan atas kantor advokat ini tidak ditindaklanjuti secara serius oleh organisasi profesi advokat. Organisasi profesi yang memiliki data kantor advokat yang terkini dan lengkap hanya HKHPM,” sebut Fikri dalam tulisan.
Sumber:
Besar Itu Perlu: Sejarah Perkembangan Kantor Advokat Modern Di Indonesia oleh Ahmad Fikri Assegaf, dalam Jurnal Hukum dan Pasar Modal volume VII/Edisi 10 Juli – Desember 2015 yang diterbitkan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dengan tema “Advokat, Kantor Hukum dan Dinamika Bisnis di Indonesia
(Kongres Advokat Indonesia)