Saat ini belum terdapat kesamaan standar dalam profesi advokat mengenai kejahatan money laundering, sehingga kesadaran pelaporan masih belum optimal.
Pelaporan tindak pidana pencucian uang atau money laundering kepada Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) belum optimal saat ini. Undang-Undang 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyatakan advokat merupakan salah satu pihak yang memiliki kewajiban pelaporan money laundering. Profesi tersebut dianggap rentan terlibat dalam kejahatan pencucian uang saat menjalankan tugasnya atas nama klien.
Sayangnya, pelaporan kejahatan pencucian uang oleh advokat ini terbilang masih minim. Salah satu penyebabnya, terdapat benturan dalam tanggung jawab advokat menjaga kerahasiaan data klien seperti yang diamanatkan dalam UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sehingga, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi advokat dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, pelaporan ini juga berisiko bagi advokat kehilangan klien tersebut.
“Masalahnya kita menghadapi persoalan lawyer itu puluhan ribu jumlahnya tapi mereka tidak punya standar sama. Dan mereka khawatir kalau saya banyak tanya ke klien nanti pindah ke lawyer lain,” jelas Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae saat dijumpai hukumonline di Jakarta, Kamis (27/2).
Atas kondisi tersebut, Dian mengatakan akan ada kewajiban bagi advokat mendaftar di PPATK saat menjalankan transaksi atas nama klien di industri jasa keuangan seperti perbankan dan pasar modal. Pendaftaran tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran profesi advokat dalam pencegahan kejahatan pencucian uang. Nantinya, apabila advokat tersebut tidak mendaftar terlebih dahulu di PPATK maka transaksi atas nama klien tersebut tidak dapat dilayani industri jasa keuangan.
“Mereka (lawyer) wajib daftar dan lapor ke PPATK. Perbankan dan pasar modal mereka akan terapkan itu (kewajiban pendaftaran) sebagai prudential regulation. Sehingga, akan diterapkan siapa yang berurusan dengan bank atau pasar modal harus terdaftar di PPATK dulu dan wajib melaporkan saat terjadi (money laundering),” jelas Dian.
Dia menambahkan saat ini belum terdapat kesamaan standar dalam profesi advokat mengenai kejahatan money laundering, sehingga kesadaran pelaporan kejahatan tersebut masih belum optimal. Dian juga mengatakan pencegahan pencucian uang ini bertujuan untuk meninguatkan perekonomian nasional. Menurutnya, beberapa negara mengalami pelemehan perekonomian akibat tidak terkawalnya kejahatan money laundering.
Profesi yang termasuk dalam pihak pelapor money laundering tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Selain advokat terdapat profesi lain yaitu notaris, pejabat pembuat akta tanah, akunntan publik dan perencana keuangan.
Risiko kriminalisasi advokat dalam kejahatan TPPU ini adalah saat bertindak sebagai pihak lain atau bukan pelaku utama yang terlibat dalam pencucian uang. Pihak ketiga tersebut disebut sebagai gate keeper yang dapat diperankan profesi advokat. Tugasnya profesi tersebut menyembunyikan dan menyamarkan hasil TPPU. Keterlibatan advokat tersebut dapat dikenakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
UU 8 Tahun 2010
Pasal 4:
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Bagi advokat litigasi tidak terdapat kewajiban melaporkan transaksi keuangan mencurigakan. Sebab, dalam PP 43/2015 menyatakan terdapat pengecualian bagi advokat yang bertindak untuk kepentingan atau untuk dan atas nama pengguna jasa dalam rangka memastikan posisi hukum dan penanganan suatu perkara, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa.
Perdebatan ini muncul pada advokat yang menangani klien dalam persoalan bukan litigasi. Advokat tersebut wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan saat menangani dan atas nama klien yang menjadi objek laporan TPPU. Objek laporan tersebut antara lain 1) Pembelian dan penjualan properti, 2) Pengelolaan uang, efek dan/atau produk jasa keuangan lainnya, 3) Pengelolaan rekening giro, tabungan, deposito dan/atau rekening efek, 4) Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan dan/atau, 5) Pendirian, pembelian dan penjualan badan hukum.
Dalam kesempatan sama, Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin menyampaikan setiap pihak termasuk profesi advokat untuk melaporkan saat terdapat transaksi mencurigakan tersebut untuk menghindari terjadinya pencucian uang. Dia mengatakan kejahatan pencucian uang ini akan berdampak buruk bagi ekonomi nasional.
“Sistem perekonomian, perdagangan harus aware terhadap pencegahan TPPU. Dengan demikian, kalau ada sistem pencegahan tersebut maka negara kita dianggap berisiko rendah. Ini akan dilihat positif sehingga dapat memberi kepercayaan negara lain dan berdampak terhadap peningkatan investasi dan cost borrowing tentu akan lebih rendah,” jelas Kiagus. sumber