Hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Ahmad Jaini menolak permohonan praperadilan yang diajukan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, bersama dua pemohon lainnya Rezky Herbiono dan Hiendra Soenjoto. Hakim menilai penetapan status tersangka terhadap ketiganya sah secara hukum dan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelumnya, Rezky, Nurhadi, dan Hiendra mengajukan permohonan praperadilan ke PN Jakarta Selatan lantaran keberatan atas penetapan tersangka oleh KPK. Ketiganya menganggap keputusan KPK itu cacat hukum dan tidak sah.
Namun, hakim Ahmad Jaini berpandangan sebaliknya. Hakim menguraikan beberapa pertimbangan menolak permohonan, mulai dari status penyidik pimpinan KPK di era Agus Rahardjo dan pengembalian mandat sejumlah komisioner, hingga status Aparatur Sipil Negara (ASN) penyidik KPK.
Para pemohon menilai Sprindik para tersangka (pemohon) tidak sah karena ditandatangani oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan sekaligus Direktur Penyidikan KPK, RZ. Panca Putra Simanjuntak, yang mengatasnamakan pimpinan KPK. Menurut para pemohon, status pimpinan sebagai penyidik telah dihapus dalam UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), sehingga pimpinan tidak lagi mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan ataupun sekadar mendelegasikan.
Bagaimana pendapat hakim? Dalam pertimbangan yang dibacakan dalam sidang, Selasa (21/1), hakim merujuk pada bukti yang diajukan KPK yakni Surat Keputusan Presiden No. 133/P Tahun 2015 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Pimpinan KPK. Dalam diktum kedua SK Presiden disebutkan bahwa Agus Rahardjo dan kawan-kawan sebagai pimpinan KPK dan Pasal 21 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Keputusan Presiden ini berlaku mulai saat pengangkatan dan pemberhentian pimpinan hingga diangkatnya Firli Bahuri cs sebagai pimpinan KPK selanjutnya. Walhasil, kata hakim, apa yang dilakukan Agus Rahardjo cs ketika itu dapat dianggap sah, termasuk tindakan menandatangani Sprindik.
“Menimbang karena demikian masa jabatan pimpinam kpk 2015-2019 berakhir pada 20 Desember 2019 sehingga dengan demikian apa yang dilakukan pimpinan tetap sah sampai pergantian jabatan pimpinan 2019-2023 termasuk dalam menandatangani Surat Perintah Penyidikan kepada para pemohon praperadilan ini,” kata hakim Jaini.
Berkaitan dengan dalil penyerahan mandat yang disampaikan para pemohon, hakim menyatakan tidak setuju pandangan ahli yang dihadirkan para pemohon. Pengembalian mandat bukanlah pengunduran diri. Sebaliknya, hakim setuju pendapat ahli yang diajukan KPK, W. Riawan Tjandra, bahwa pengembalian mandat secara lisan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Lagipula, SK mengenai pemberhentian komisioner KPK 2015-2019 dilakukan karena masa jabatan telah berakhir. “Bukan karena pengembalian mandat atau pengunduran diri. Maka tidak ada kekosongan hukum atas pengembalian mandat,” jelas hakim.
Dalil para pemohon lainnya yang ditanggapi hakim adalah status ASN. Hakim menyatakan sependapat dengan ahli yang diajukan KPK. Sesuai dengan Pasal 69B UU No. 19 Tahun 2019 penyelidik dan penyidik KPK berstatus sebagai ASN dalam kurun waktu dua tahun. “Sehingga penyidik atas nama Novel dan Riska (yang melakukan penyidikan) tetap sah melakukan penyidikan di lembaga termohon KPK,” terangnya.
“Mengadili dalam eksepsi, menolak eksepsi pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara menolak permohonan praperadilan para pemohon, membebani biaya perkara sebesar nihil,” kata Hakim dalam putusannya.
Maqdir Ismail, kuasa hukum pemohon menghormati putusan ini. Meskipun ada perdebatan mengenai pertimbangan hakim, ia dan tim kuasa hukum tetap menghormati putusan. Kliennya, kata Maqdir, tetap akan mengikuti proses hukum termasuk, termasuk menghadiri proses pemeriksaan dan akan berusaha mementahkan tuduhan KPK dalam pengadilan pokok perkara di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
“Kita bisa lihat proses persidangan nanti apakah sangkaan ini benar atau tidak karena hakim dari bagian terakhir putusan mengatakan bahwa ada beberapa hal masuk pokok perkara sehingga tidak dipertimbangkan. Padahal itu inti persoalan, ini yang mesti dipikir berkenaan bukti permulaan yang cukup,” pungkasnya. sumber