kompas.id – Saya masih menjadi anak bawang di tabloid Bola saat mengawali karier jurnalistik olahraga di Kompas Gramedia pada awal 1994. Saat itu saya diminta menjadi copy writer untuk Sumohadi Marsis (almarhum) yang bertugas sebagai peliput utama Kejuaraan Dunia Bola Basket 1994 di Toronto, Kanada, 4-14 Agustus, dan dengan senang hati saya menerimanya.
Sebagai calon wartawan, saya harus belajar dari wartawan sekaliber Pak Sumohadi. Pak Sumo adalah wartawan hebat di sepak bola dan balap sepeda. Kalau sekarang meliput bola basket, pasti ada daya tarik. Apalagi ini adalah kejuaraan dunia yang merupakan pergelaran ke-12 sejak pertama kali digelar pada 1950 dengan nama Campeonato Mundial de Basquetebol Masculino de 1950 di Buenos Aires, Argentina.
Tim nasional AS adalah favorit juara sejak mereka pertama kali tampil di level amatir dengan para pemain profesional mereka, National Basketball Association (NBA), di Olimpiade Barcelona 1992. Maka, muncullah istilah rivalitas antara The Dream Team I (Michael Jordan, Magic Johnson, Larry Bird, Patrick Ewing, dkk) dan The Dream Team II (Shaquille O’Neal, Larry Johnson, Alonzo Mourning, dkk).
AS menang di final atas Russia dengan skor telak 137-91 di hadapan 32.616 pasang mata di SkyDome, Toronto. Shaq akhirnya menjadi pemain terbaik (MVP) dengan 18 angka dan 10 rebound.
Sebagai wartawan muda sekaligus penggemar bola basket, saya adalah pemuja The Dream Team I, sampai sekarang. Namun, saat membaca dokumen ratusan halaman yang saya unduh dari pusat data Media NBA di New York mengunakan mesin faks kantor, saya tidak menemukan jawaban siapa lebih hebat: The Dream Team I ata The Dream Team II?
Dokumen-dokumen itu justru memuji kehebatan Andrew Gaze (Australia), Dino Radja (Kroasia), Arijan Komazec (Kroasia), Hur Jae (Korsel), Sergei Babkov (Rusia), atau penembak jitu asal Angola, Herlander Fernandes Coimbra. Seseorang secara sengaja tampaknya ingin melihat basket di belahan dunia lain maju. Ia termasuk kurang senang jika timnas AS ”membantai” negara lain di Olimpiade atau di Kejuaraan Dunia.
Usut punya usut, ada sosok bernama David Joel Stern. Stern adalah komisioner terlama NBA sepanjang sejarah, yakni dari 1984 hingga 2014. Stern wafat 1 Januari 2020 pada usia 77 akibat pendarahan otak (brain hemorrhage). Ia meninggal didampingi istri tercinta, Dianne Bock, dan dua anaknya, Andrew dan Eric. Dunia basket, terutama NBA, kehilangan salah satu ikon terbesarnya meski orang itu bukan pemain ataupun pelatih. Stern tidak pernah bermain basket profesional akibat cedera di lutut kanan di lawyer league di New York.
Ahli hukum pakar pemasaran
Stern adalah ahli hukum lulusan Rutgers University (1963) di bidang sejarah dan Columbia University (1966) di bidang hukum. Stern merupakan sosok terpenting di era globalisasi NBA.
Saya pertama kali bersalaman dengan David Stern saat NBA All-Star 1996 di San Antonio dalam penugasan pertama ke AS. Saat itu, ada pergelaran Jam Session di The Henry B González Convention Center. Stern menyambut semua media dengan ramah dan sedikit mengabaikan protokoler, bahkan sempat menyapa ke media asing seperti saya.
”Anda dari mana?” Saya jawab Indonesia. Stern berucap, ”Negeri potensial untuk pemasaran NBA.” Aha, antara kebetulan dan mukjizat Tuhan, tak disangka pada 2023 Indonesia bersama Filipina dan Jepang akan menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia Bola Basket (FIBA World Cup), 27 tahun setelah ucapan itu!
Michael Jordan mengakui eksistensi David Stern. Tanpa campur tangan David Stern, NBA tidak akan seperti sekarang, kata Jordan seperti dilansir laman NBA.
Jordan dipilih oleh Chicago Bulls pada NBA Draft 984 sebagai pilihan ketiga di bawah Hakeem Olajuwon (Houston Rockets) dan Sam Bowie (Portland Trail Blazers). NBA Draft adalah acara tahunan di mana tim-tim NBA dapat memilih pemain yang memenuhi syarat dan ingin bergabung dengan liga. Mereka biasanya adalah pemain bola basket dari perguruan tinggi, tetapi pemain internasional juga bisa dipilih.
Jordan menjadi salah satu pemain pertama yang disambut Stern di panggung NBA Draft, yang saat itu masih berkumis tipis. Jordan kemudian berkembang menjadi megabintang NBA. Ia memberikan dampak luar biasa pada olahraga basket dan di beberapa buku pemasaran olahraga dikenal sebagai Jordan Effect.
Jordan mendapatkan enam cincin juara NBA, enam kali pemain terbaik final (MVP), lima kali MVP babak reguler, 14 kali terpilih All-Star, dan 10 kali menjadi pencetak poin terbanyak liga. Gaji Michael Jordan mencapai 34 juta dolar AS semusim, dan yang fantastis, ketika Jerry Reinsdorf membeli 56 persen saham Chicago Bulls senilai 9,2 juta dolar, setelah kedatangan Michael Jordan, nilainya meroket berkali-kali hingga menjadi 200 juta dollar AS.
Stern yang undur diri dari panggung NBA pada 2014 dan memutuskan pensiun (tetapi tidak 100 persen pensiun karena membantu komisioner penggantinya, Adam Silver), layak senang karena ia meninggalkan warisan harta karun bisnis NBA senilai lebih dari 5 miliar dollar AS setahun. Bola basket melalui NBA juga melonjak menjadi olahraga global.
Tahun baru 2020 adalah akhir dari perjalanan penjelajahan Stern. NBA berbangga memiliki komisioner berdedikasi seperti Stern. ”NBA menjadi truly global brand berkat Stern. Kami berterima kasih padanya,” ucap Adam Silver.
Baca Juga : China Klaim Natuna, Ini 8 Sikap RI