Kisah Klasik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Polemik Terjemahannya

Kisah Klasik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Polemik Terjemahannya

hukumonline.com – Puluhan tahun berlalu, upaya memiliki KUHP nasional belum terwujud. KUHP yang sekarang buatan Belanda, dan penerjemahannya belum tuntas. Gugatan ke pengadilan pun mentok.

Gegap gempita pemilu dan upaya penegakan hukum yang dilakukan kepolisian telah memantik perdebatan sengit tentang makar. Banyak pertanyaan yang mengemuka di ruang publik. Apakah penggunaan pasal makar dalam KUH Pidana sudah tepat untuk menjerat orang-orang yang menyerang calon presiden atau aparat pemerintah? Apakah para pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka sungguh-sungguh berniat makar? Atau, pertanyaan yang paling dasar: apakah yang dimaksud dengan makar itu?

Polemik tentang penggunaan pasal makar telah mendorong sejumlah akademisi dan praktisi menelusuri asal-muasal istilah makar dalam KUHP, sebagai terjemahan dari lema aanslag. Ciri khas aanslag adalah adanya serangan, sementara akar kata ‘makar’ dalam bahasa Arab lebih bermakna tipu daya. Sekilas terkesan ada perbedaan maksud pembentuk Undang-Undang dengan kata yang dipakai dalam terjemahan KUHP di Indonesia.

Dari sejumlah KUHP klasik yang lazim dipakai kalangan hukum sama-sama menggunakan kata ‘makar’ untuk menafsirkan kata aanslag. KUHP karangan R Sugandhi langsung menyebutkan ‘penyerangan’ (makar) dalam rumusan awal Pasal 104 KUH Pidana. KUHP versi Andi Hamzah merumuskan Pasal 104 sebagai “makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun”.

Pengajar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, berpendapat bahwa serangan merupakan anasir penting dalam suatu makar. Dalam perbuatan makar sudah ada mufakat, suatu bentuk komitmen untuk berbuat. “Kalau definisi saya, serangan yang membuat presiden atau wakil presiden tidak bisa memerintah dan tidak bisa menyelenggarakan pemerintahan,” ujarnya.

Perdebatan tentang istilah ‘makar’ atau ‘aanslag’ hanya satu dari kemungkinan banyak istilah yang dipahami berbeda akibat tidak adanya terjemahan resmi KUHP. Selama ini, masing-masing pihak dapat menerjemahkan sendiri dan menerbitkan buku KUHP. KUH Pidana –dan KUH Perdata serta HIR/RBg—terus diproduksi karena kebutuhan masyarakat dan komunitas hukum.

Selain versi Andi Hamzah dan versi R. Sugandhi, masih ada sejumlah KUHP lain yang terbilang buku ‘klasik’ KUHP Indonesia, yakni Engelbrecht, versi KH Husin, versi Moeljatno, versi R. Soesilo yang diterbitkan Politeia Bogor, KUHP dengan Penjelasan versi Roeslan Saleh (1981), dan versi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Para penulis KUHP umumnya berlatar belakang akademisi. Andi Hamzah adalah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta. Moeljatno adalah Guru Besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta; R Soesilo adalah pensiunan perwira kepolisian. Ada lagi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disusun H. Soerjanatamihardja terbitan GCT van Dorp & Co NV, Jakarta (1952).

Berkaitan dengan penerjemahan, Soerjanatamihardja, menulis: “Dalam menerjemahkan Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie ke dalam bahasa Indonesia, kami tidak semata-mata menerjemahkan dengan begitu saja, akan tetapi dalam mengerjakan terjemahan ini ketentuan-ketentuan yang ganjil itu semuanya dengan sekaligus telah dihapuskan dari pasal-pasal yang bersangkutan dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal 3, 6, 7 dan 8 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946” (penulisan disesuaikan dengan ejaan sekarang). Ia juga menulis bahwa terjemahan WvS tidak mempunyai kekuatan mengikat, karena yang mengikat itu adalah naskah dalam bahasa Belanda.

Para penyusun KUHP tersebut juga menyadari tentang pentingnya memperhatikan aspek penerjemahan dari Wetboek van Strafrecht (WvS), selain penyusunan isinya. Prof. Moeljatno, misalnya, menulis pada edisi perdana (1952) KUHP yang ia terjemahkan: meskipun sudah banyak terjemahan WvS yang beredar, sedikit banyak menitikberatkan pada terjemahan kata demi kata tanpa mengingat makna khusus suatu kata, hubungan kalimat, atau rangkaian pengertian tertentu. Akibatnya, WvS sukar dimengerti oleh orang yang tak mampu berbahasa Belanda.

Moeljatno menyebut contoh kata landaard dalam rumusan Pasal 156 WvS. Dalam KUHP kala itu diterjemahkan menjadi ‘wataknya suku bangsa’ karena lema aard dalam bahasa Belanda dapat juga bermakna ‘watak’. Seharusnya, lema landaard itu diartikan sebagai negeri asal. Contoh lain adalah kata ‘drink-water-inrichting’ dalam Pasal 203 WvS yang disalin sebagai ‘tempat air minum’, sehingga maknanya sangat luas. Pengertian yang luas menyebabkan teko atau tempat teh masuk kualifikasi pasal tentang bahaya karena kealpaan barangsesuatu dimasukkan ke dalam sumur, pompa, sumber air, atau perlengkapan air minum.

Dalam menyalin atau menerjemahkan WvS ke dalam KUHP, tulis Moeljatno, konsekuensi menggunakan istilah, guna memudahkan dan menyederhanakan. Tetapi dalam perkembangan cetakan demi cetakan, KUHP versi Moeljatno telah mengalami perubahan sejumlah istilah yang lebih pas terjemahannya. Misalnya, istilah cacat ‘besar’ dalam Pasal 90 diubah menjadi cacat ‘berat’; dan istilah terganggunya ‘kekuatan akal’ diganti menjadi terganggunya ‘daya ingat’.

Andi Hamzah juga menceritakan kesulitan penerjemahan WvS itu dalam kata pengantar buku KUHP karangannya. “Mengedit KUHP yang merupakan terjemahan (Wetboek van Strafrecht) dengan perubahan-perubahannya bukan pekerjaan yang mudah. Setelah membandingkan dengan terjemahan-terjemahan yang lain, maka ternyatalah bahwa hampir semua ada kesalahan cetak, belum lagi bahasa Indonesia yang berbeda-beda”.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu juga mengakui ada perubahan penggunaan istilah. Misalnya, atas saran Prof. Oemar Seno Adji, Andi menggunakan kata ‘berkomplot’ untuk terjemahan samenspaning. Ternyata pembentuk undang-undang di Indonesia lebih memilih menggunakan istilah yang umum dipakai yakni ‘permufakatan jahat’. KUHP versi terbaru karya Andi Hamzah sudah menggunakan istilah permufakatan jahat.

Perbedaan kata yang dipakai sebagai terjemahan WvS warisan Belanda tak lepas dari ketiadaan terjemahan resmi yang diterbitkan pemerintah. WvS warisan Belanda diberlakukan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sayangnya, puluhan tahun berlalu, hingga kini tidak ada terjemahan resmi KUHP meskipun BPHN menerbitkan KUHP yang diklaim sebagai terjemahan resmi. Para pemangku kepentingan, akademisi dan praktisi, menggunakan buku KUHP yang mungkin berbeda-beda.

Dosen Hukum Pidana Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, berpendapat ketiadaaan terjemahan resmi KUHP berimplikasi pada kompleksitas tafsir atas unsur unsur delik dalam KUHP, bahkan mungkin menimbulkan multitafsir pada delik tertentu. Akibatnya sering terjadi perdebatan panjang dan melelahkan di ruang sidang antara hakim, jaksa dan pengacara. Konsekuensi lain, ada sejumlah putusan pengadilan yang tidak konsisten menerapkan pasal- pasal KUHP karena perbedaan pandangan hakim yang satu dengn hakim lain untuk norma ya sama. “Ini merupakan keguncangan hukum yang luar biasa yang dibiarkan sejak tahun 1946,” ujarnya kepada hukumonline.

Kini adanya banyak buku cetakan KUHP baik yang ditulis individu maupun dicetak perusahaan penerbit. Pada umumnya isinya sama, tetapi ada satu dua kata yang diterjemahkan berbeda pada pasal tertentu. Para pembaca mungkin memiliki pemahaman yang sama atas apa yang dimaksud pembentuk undang-undang. “Meskipun maknanya sama, namun tetap dapat menimbulkan tafsir berbeda sehingga penegakan hukum pidana dengan KUHP menjadi sangat kompleks dan adakalanya tidak konsisten,” sambung doktor hukum pidana lulusan Universitas Indonesia itu.

Para ahli hukum pidana Indonesia seperti Andi Hamzah dan Harkristuti Harkrisnowo sebenarnya sudah lama menyuarakan pentingnya terjemahan resmi KUHP. Ketiadaan terjemahan resmi dapat menimbulkan interpretasi berbeda-beda, termasuk beda tafsir antarpenegak hukum. Perbedaan interpretasi pada akhirnya membuka peluang ketidakpastian hukum. Contoh konkritnya adalah perbedaan tafsir terhadap istilah belediging dalam Pasal 134 WvS. Ada yang melihatnya sebagai penghinaan, sebaliknya ada yang menyebutkan sama dengan penistaan. Padahal, penistaan (smaad) memiliki pengertian yang berbeda dari penghinaan.

Gugatan
Bagi sejumlah orang, ketiadaan terjemahan resmi KUHP bukan persoalan sepele. Sebab, dalam praktik, mereka menghadapi persoalan hukum manakala hendal menelusuri asal muasal suatu istilah hukum. M. Isnur punya pengalaman menarik ketika menelusuri latar belakang istilah overspel yang diatur dalam Pasal 284 KUHP. Saat itu, terjadi adu kekuatan antara mereka yang ingin memperluas cakupan zina, dan mereka yang berpandangan sebaliknya, lewat pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Istilah overspel dalam KUHP sering diartikan sebagai zina. Namun ada juga yang menggunakan istilah ‘mukah’. Manakah istilah yang benar, atau kedua-duanya benar? Isnur merasa ketiadaan terjemahan resmi KUHP menjadi pangkal persoalan beda pandang tentang suatu konsep hukum pidana.

Dalam menjalankan tugas sebagai pengacara publik, Isnur juga sering dihadapkan pada ketidakjelasan makna dan batasan suatu istilah. Misalnya, apa yang dimaksud dengan ‘penyiksaan’? Apakah menepis atau mencubit tangan sudah masuk kategori penyiksaan? Ia yakin persoalan yang sama sering dihadapi oleh aparat penegak hukum. Itu pula sebabnya, Isnur menganggap terjemahan resmi KUHP sesuatu yang harus dibuat oleh negara.

Puncaknya adalah ketika Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tempat Isnus bernaung, beserta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan LBH Masyarakat melayangkan gugatan terhadap Pemerintah dan DPR atas kelalain menerjemahkan KUHP. Gugatan mereka, disebut Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia resmi, dilayangkan ke PN Jakarta Pusat pada tahun lalu. Lewat upaya hukum itu, Tim Advokasi ini berharap pengadilan memerintahkan pada Tergugat untuk melakukan penerjemahan resmi KUHP. Ini salah satu upaya kelompok masyarakat sipil untuk mendorong Pemerintah.

Cuma, menurut Isnur, setelah bersidang beberapa kali, majelis menyatakan gugatan itu tidak dapat diterima alias niet onvantkelijk verklaard (NO). Majelis menyatakan tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo. “Kami nyatakan banding saat itu,” cerita Isnur kepada hukumonline.

RUU KUHP
Meskipun tidak ada terjemahan resmi, KUHP dipakai hingga kini untuk menjerat para pelaku tindak pidana umum. Sejak dekade 1960-an pemerintah sudah berupaya menyusun KUHP nasional yang ditulis orang Indonesia dan ke dalam bahasa Indonesia. Namun hingga tulisan ini dibuat, proses penyusunannya baru pada tahap pembahasan antara DPR dan Pemerintah. Masih ada bagian tertentu yang belum disepakati sepenuhnya.

Ahmad Sofian menyarankan selama revisi KUHP belum disahkan sebagai KUHP nasional sebaiknya pemerintah dan DPR membuat terjemahan resmi dan memberikan definisi atas beberapa istilah yang dipakai dalam KUHP. Jika ada terjemahan resmi, perbedaan tafsir antarpenegak hukum dapat diminimalisasi. “Dengan demikian kepastian hukum atas terminologi tertentu menjadi lebih akurat dan tidak menimbulkan ragam tafsir yang berujung pada kesesatan penegakan hukum,” tegasnya.

Bukan tidak ada upaya yang dilakukan Pemerintah. Lewat Badan Pembinaan Hukum Nasional diupayakan untuk membuat terjemahan resmi. Tetapi karena dikritik banyak orang, akhirnya tidak ada terjemahan KUHP resmi sampai sekarang. Yang ada, hanya sebuah KUHP versi BPHN.

Dalam bukunya, ‘Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, mantan Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro menulis bahwa sejak awal sebenarnya sudah ada upaya untuk menghilangkan keragu-raguan atau ketidakpastian akibat penafsiran istilah-istilah tertentu dalam KUHP. Menurut dia, ada dua cara menafsirkan yang sering digunakan yakni memperluas cakupan arti. Misalnya memperluas makna ambtenaar (pegawai negeri) yang disebut dalam Pasal 92 KUHP. Cara kedua adalah mempersempit arti suatu istilah hukum, seperti istilah verstaan dalam Pasal 92 bis hanya terbatas pada orang-orang yang menjalankan perusahaan, bukan semua orang yang menjadi pedagang.

Satu pijakan yang harus diingat adalah ketentuan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan. Pasal 26 menegaskan “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan”. Lantas, apakah akan dibiarkan KUHP, KUH Perdata, HIR/RBg terus berlaku tanpa ada terjemahan resmi yang diputuskan negara?

Soerjanatamihardja, dalam KUHP yang dia susun, menuliskan kalimat ini puluhan tahun lalu: “Kami mempunyai keyakinan yang penuh bahwa di kelak kemudian hari bahasa asing tidak dipergunakan lagi dalam perundang-undangan atau dalam surat-surat resmi di Indonesia”.

Namun dosen hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, berpendapat bahwa upaya penerjemahan resmi saat ini sudah tidak menguntungkan dan akan menghabiskan banyak energi. “Karena kita segera mengacu pada RUU KUHP yang sudah mau selesai,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (8/7) lalu.

Baca Juga : 6 Hukum Pajak Paling Unik Dari Berbagai Negara

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

PJ Sekda Sidenreng Rappang Jajaki Kerjasama Bidang Hukum dengan Kongres Advokat Indonesia
PJ Sekda Sidenreng Rappang Jajaki Kerjasama Bidang Hukum dengan Kongres Advokat Indonesia
April 25, 2024
Presiden KAI: Mempertanyakan BAS Lawan di Pengadilan itu Tidak Sopan!
March 21, 2024
Gerak Cepat Pembentukan Dewan Kehormatan Pusat Organisasi Advokat
March 13, 2024
Solid! Presiden Kongres Advokat Indonesia Sambut Hangat Pimpinan-Pimpinan Nasional Organisasi Advokat di Menara Sampoerna
March 6, 2024
KAI Makin Mengukuhkan Diri Sebagai Organisasi Advokat Modern Berbasis Digital & Artificial Intelligence
January 30, 2024