KONTAN.CO.ID – HONG KONG. Pemerintah Hong Kong sudah resmi mencabut Undang-Undang Ekstradisi yang menjadi sumber pemicu demonstrasi berbulan-bulan di negeri tersebut. Apakah pencabutan ini akan meredakan aksi demo? Entahlah.
Satu hal yang paling ditakuti para investor bila unjuk rasa belum juga reda adalah kalau Hong Kong menerapkan hukum darurat alias martial law. Hukum era kolonial ini memberi wewenang luas kepada otoritas Hong Kong serupa dengan darurat militer.
Bloomberg melaporkan, spekulasi Kepala Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mungkin memohon memberlakukan hukum darurat mengemuka sejak dia mengatakan pada pekan lalu bahwa semua opsi ada di atas mejanya.
Lam mengatakan, dia tidak pernah meminta ke China untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Undang-undang yang diperkenalkan oleh Inggris pada tahun 1922 itu digunakan dalam keadaan darurat atau bahaya publik. Payung hukum ini memberi pemimpin Hong Kong kekuatan untuk membuat “peraturan apa pun yang menurutnya diinginkan untuk kepentingan umum.” Pejabat Cina pada Selasa (3/9) lalu mengatakan, UU darurat itu bisa diimplementasikan jika perlu.
Nah, inilah yang membuat investor cemas. Analis pasar di Hong Kong memang menebak pemberlakukan UU darurat probabilitasnya rendah, tetapi mereka tidak mengesampingkan ini karena beberapa pemrotes anti-pemerintah berubah menjadi semakin kejam.
Sementara menerapkan UU darurat akan menjadi tindakan yang tidak terlalu ekstrem dibandingkan meminta pasukan China untuk memadamkan kerusuhan.
Dampak spontan pada pasar kemungkinan akan menjadi negatif. Kata analis, harga saham dan dolar Hong Kong akan berada di bawah tekanan karena investor asing pasati akan bergegas untuk mengurangi eksposur mereka.
Skala dan durasi eksodus dana asing dan rusaknya reputasi Hong Kong sebagai pusat keuangan global, akan tergantung pada bagaimana hukum itu digunakan.
Yang pasti di UU darurat Hong Kong mengatur berbagai ketentuan termasuk penangkapan, penyitaan properti, deportasi, kontrol pelabuhan dan kekuatan untuk membatasi alat komunikasi. Dalam skenario ekstrem, pemerintah bahkan dapat memutus akses ke Internet.
“Jika undang-undang darurat diterapkan, kerusakan ekonomi pasti akan signifikan,” kata Nader Naeimi, Kepala Pasar AMP Capital Investors Ltd yang mengawasi sekitar US$ 800 juta dana investor asing. Naeimi menjual kepemilikan saham Hong Kong pada bulan Mei 2019 lalu, karena risiko di negara kota itu terlalu tinggi.
Steven Leung, Direktur Eksekutif UOB Kay Hian (Hong Kong) tidak berpikir bahwa pemerintah Hong Kong akan menerapkan aturan itu ketika ada begitu banyak kekhawatiran di masyarakat. Masih banyak hal yang dapat dilakukan pemerintah, sehingga tidak ada urgensi bagi mereka untuk meluncurkan undang-undang darurat ini dalam waktu dekat.
“Jika mereka melakukannya, mungkin ada beberapa kepanikan jangka pendek di pasar keuangan dan juga di masyarakat,” ujar Leung kepada Bloomberg.
Undang-undang darurat ini hanya digunakan sekali yakni selama kerusuhan tahun 1967 di Hong Kong. Dengan beleid ini, otoritas yang diberikan secara khusus mencakup kontrol publikasi, tulisan, peta, rencana, foto, komunikasi dan sarana komunikasi.
Jadi dengan UU darurat ini, pemimpin Hong Kong dapat memerintahkan perusahaan telekomunikasi swasta untuk memotong layanan internet yang disampaikan melalui jaringan telepon tetap dan seluler.
Atau, dia dapat memaksa penyedia layanan ini untuk mengambil tindakan lain termasuk memperlambat kecepatan Internet, menonaktifkan jaringan ponsel tertentu dan tempat Wi-Fi publik atau memblokir situs web dan platform tertentu.
Baca Juga : Anggota DPR Ini Minta Polri Tiru Belanda soal Penerapan Hukum Lalu Lintas