Jakarta, medcom.id : Program Manager Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) Lilik HS menilai pemerintah salah langkah menjatuhkan vonis pidana tambahan berupa kebiri kepada terdakwa predator anak asal Mojokerto, Jawa Timur. Menurutnya kebiri tak menjamin pelaku jera.
“Pemerintah hanya memikirkan membuat orang jera, kasih hukuman setinggi-tingginya. Aku enggak yakin kebiri ini dampaknya garis lurus orang menjadi takut,” ujarnya di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 27 Agustus 2019.
Penerapan hukuman kebiri dianggap instan mengganjar pelaku kejahatan seksual anak. Pemerintah, kata dia, semestinya memiliki sudut pandang lebih luas mengentaskan kasus tersebut.
“Pokok persoalannya adalah di pemahaman orang akan isu anak, pemahaan anak akan seksualitas, macam-macam dan sangat kompleks. Enggak bisa dijawab dengan kebiri,” jelasnya.
Lilik tak memungkiri perlu waktu mencari solusi hukuman yang sesuai untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Namun, alih-alih mengebiri, usaha untuk mencari cara lain akan sebanding dengan kebijakan hukum yang dimiliki Indonesia secara terukur dan komprehensif.
“Sebagai bangsa yang beradab harus mau capek dan mau melakukan sesuatu secara komperhensif. Itu yang enggak pernah dilakukan,” pungkasnya.
Terdakwa kasus pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Jawa Timur, Muh Aris bin Syukur alias MA sebelumnya dijatuhi hukuman kebiri kimia oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto. Kepala Kejari Mojokerto Rudi Hartono mengatakan putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.
Aris divonis terbukti melanggar Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto, Aris dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan hukuman kebiri.
Aris sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Namun, Pengadilan Tinggi Surabaya justru menguatkan vonis dari pengadilan tingkat pertama.
Tak habis cara, Aris kemudian meminta hukuman kebiri atas dirinya dibatalkan. Dia pun berencana mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Kuasa hukum Aris, Handoyo, mengatakan, PK menjadi satu-satunya peluang bagi Aris lantaran vonis di tingkat Pengadilan Tinggi Surabaya telah memiliki kekuatan hukum tetap.
“Peraturan pemerintah yang mengatur soal pelaksanaan teknis kebiri kimia itu belum ada sehingga hukuman tambahan tersebut harusnya tidak dapat diberikan kepada klien saya,” ungkapnya, Selasa, 27 Agustus 2019.
Baca Juga : Ridwan Kamil Sampaikan Dukacita Atas Wafatnya Ipda Erwin