AKURAT.CO, Setara Institute melakukan penelitian atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) periode 10 Agustus 2018 hingga 10 Agustus 2019. Hal itu dilakukan sebagai bentuk partisipasi dalam perayaan Hari konstitusi yang jatuh pada tanggal 18 Agustus.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan, dalam manajemen peradilan modern, MK mengalami kemajuan signifikan. Ismail menilai hal tersebut hasil dari pembelajaran MK dari peristiwa-peristiwa masa lalu.
“MK mengalami kemajuan signifikan MK belajar betul dari peristiwa-peristiwa masa lalu seperti penangkapan Aqil Mukhtar, dan Patrialis Akbar,” ungkap Ismail, di Setara Institute, Jakarta Selatan, Minggu (18/8/2019).
Perubahan signifikan tersebut, kata Ismail, terlihat dalam segi pembatasan waktu dan perkara, serta dismissial proses, dimana MK berhemat dalam menggunakan anggaran negara dengan memastikan apakah suatu perkara itu layak atau tidak untuk diperiksa oleh mahkamah.
“Dimana ada perkara yang tidak layak diperiksa oleh mahkamah, segera diputus. Kalau dulu mahkamah senang bersidang hingga berkali-kali, selain pemborosan uang negara, tidak hemat enegi ya, membiarkan ketidakpastian hukum dalam jangka waktu yang lama,” kata Ismail.
Di bidang lain, lanjut Ismail, dalam konteks dinamika pengambilan putusan, MK juga mengalami peningkatan disiplin. MK tidak melakukan ultra petita, dan ultra vires.
“Ultra petita itu memutus melebihi apa yang dimohonkan, ini tahun ini tidak ada satu pun dengan ultra petita. Sebelumnya sering terjadi jadi, ini suatu kemajuan disiplin mk pada kewenangan yang dimilikinya,” ujar Ismail.
Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan, walaupun dalam periode setahun belakangan masih ditemukan ultra vires, namun, Setara masih membeeikan bobot nilai yang positif. Karena menurutnya, tidak mungkin MK memberikan terobosan hukum tanpa melakukan ultra vires atau membuat norma-norma baru.
Sepanjang pembuatan norma baru itu tidak melangkahi kewenangan DPR, saya kira ini masih bisa saya benarkan dalam konteks judicial activism, dimana mahkamah konstitusi mempraktikan praktik-praktik yang progresif di dalam memutus perkara,” ujar Ismail.
Namun, dalam segi putusan, Ismail mencatat, ada delapan poin putusan MK yang memiliki tone negatif. Karena menurutnya, tidak kontributif pada kajuan Hak Asaai Manusia (HAM) penguatan demokrasi dan juga penguatan rule of law.
“Beberapa putusan yang kita jabarkan, diantaranya soal presidential threshold, lalu soal isu-isu lain. Pada intinya adalah mahkamah sebenarnya punya kesempatan untuk memberikan terobosan hukum, tapi tidak dilakukannya,” pungkas Ismail.
Baca Juga : Jaksa Tuntut Hukuman Mati 3 Terdakwa Dalam Kasus 37 Kg Sabu