Jakarta, detik.com – Indonesia memasuki usia ke- 74 esok hari dengan acara peringatan kemerdekaan yang digelar dari Merauke hingga Sabang. Sayang, meski telah merdeka 74 tahun, Indonesia masih menggunakan KUHP peninggalan penjajah kolonial Belanda.
Sebagaimana diketahui, KUHP dibuat pada 1830 di Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial memberlakukan secara nasional pada 1918 hingga saat ini.
KUHP yang mempunyai nama asli Wet Wetboek van Strafrecht itu lalu menggusur seluruh hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat, hingga hukum pidana agama. Nilai-nilai lokal pun tergerus hukum penjajah.
Semangat menggulingkan hukum Belanda dengan hukum pidana nasional terus menggelora sejak tahun 80-an. Sejak saat itu, tim perumus melakukan studi banding ke berbagai negara di dunia. Namun, saat naskah RUU KUHP baru itu disodorkan ke DPR, selalu gagal. 30 Tahun lebih draft itu teronggak di meja dewan dan tidak kunjung disahkan hingga hari ini.
Dalam draf RUU KUHP baru, berikut sebagian nilai-nilai dan pasal yang mengadopsi nuansa pidana lokal sebagaimana dirangkum detikcom, Jumat (16/8/2019):
1. Pasal Santet
Draft RUU KUHP memuat pasal santet. Yaitu barang siapa yang mempromosikan diri bisa menyantet/memiliki ilmu gaib dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun penjara. Di KUHP Belanda tidak ada pasal ini.
2. Kriminalisasi LGBT
Draft RUU KUHP akan mengkriminalisasi LGBT, tanpa pandang bulu usianya. LGBT dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam KUHP saat ini, LGBT sesama orang dewasa legal.
3. Kriminalisasi Kumpul Kebo
Budaya Barat, termasuk Belanda, mentolerir budaya kumpul kebo. Dalam KUHP baru yang mengusung nilai Pancasila, akan mengkriminilasasi orang yang hidup serumah tanpa ikatan pernikahan.
4. Kriminalisasi Free Sex
Di Eropa, lazim orang melakukan hubungan seks suka sama suka tanpa ikatan pernikahan. Sehingga hal itu bukan delik pidana dan tidak diatur dalam KUHP. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pancasila dan akan diatur dalam KUHP baru.
Hal itu akan diatur sebagai delik zina, poin-poinnya yaitu:
– laki‑laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
– perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki yang bukan suaminya;
– laki‑laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
– perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki, padahal diketahui bahwa laki‑laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
– Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
– Delik di atas adalah delik aduan dan ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara.
5. Membangkitkan Hukum Adat
Hukum Adat disingkirkan dalam KUHP Belanda. Hal itu juga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di Nusantara sehingga perlu menghidupkan lagi Hukum Adat di KUHP.
Baru-baru ini, perwakilan negara Jerman, Inggris, Belanda dan Prancis mendatangi DPR dan menanyakan progres RUU KUHP. Mereka mengkhawatirkan RUU itu akan bertentangan dengan nilai-nilai HAM yang mereka anut.
“Dalam rancangan terakhir tidak ada kriminalisasi atas hal itu. Memang hal itu kontroversial, tapi jika disentuh akan melanggar HAM,” kata staf penasihat bagian politik kedutaan Belanda, Roy Spijkerboer.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan pemerintah akan menyerahkan daftar inventaris masalah (DIM) RUU KUHP ke DPR RI pada 26 Agustus mendatang. Setidaknya ada 3 isu yang menjadi pokok permasalahan.
“Berikutnya DIM RUU KUHP akan segera diserahkan pada DPR pada tanggal 26 Agustus, mudah-mudahan nggak molor lagi, itu sementara jadwalnya seperti itu,” ujar Moeldoko di Gedung Bina Graha KSP, Jalan Veteran, Jakarta Pusat pada (14/8) kemarin.
Moeldoko mengatakan RUU KUHP sudah lama dinantikan sebagai pengganti KUHP zaman kolonial. Dia memastikan RUU KUHP yang akan diserahkan itu dirumuskan oleh ahli hukum Indonesia yang kompeten.
“RUU KUHP adalah RUU yang sudah lama dinanti untuk diterbitkan sebagai pengganti KUHP zaman kolonial. Lewat RUU KUHP ini untuk pertama kita akan memiliki kitab hukum pidana asli Indonesia yang dirumuskan oleh ahli hukum Indonesia yang kompeten di bidangnya,” kata Moeldoko.
Sementara itu, Tim Penyusun KUHP KSP, Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan ada 3 poin yang menjadi fokus pada RUU KUHP tersebut. Isu tersebut adalah penghinaan terhadap presiden, kejahatan kesusilaan dan tindak pidana khusus.
“Ada 3 isu yang sedang dibahas, pertama ada soal penghinaan terhadap presiden, kedua kejahatan kesusilaan, ketiga mengenai tindak pidana khusus,” papar Edward.
Di sisi lain, beberapa orang menolak RUU KUHP dengan alasan akan menggerus kewenangan KPK dan pelemahan terhadap pemberantasan korupsi.
Lalu sampai kapan Indonesia memiliki hukum pidana sendiri, menggantikan produk kolonial penjajah Belanda?
Baca Juga : 1 Paragraf Pidato Jokowi Soal Hukum, Korupsi, dan HAM