AKURAT.CO, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut tidak menghormati Mahkamah Agung (MA) sama sekali.
Hal itu disampaikan oleh kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, saat menanggapi sikap KPK yang tetap memanggil kliennya sebagai tersangka meski sudah ada Putusan MA terkait Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.
Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim dalam perkara perdata di PN Tangerang itu mengungkapkan bahwa sebelumnya KPK menyatakan bahwa mereka menghormati Putusan MA dalam perkara SAT tersebut.
Akan tetapi dalam kenyataannya, menurut Maqdir, tindakan KPK menunjukkan bahwa mereka tidak menghormati MA, Pemerintah bahkan Presiden Indonesia sekalipun.
“Pernyataan bahwa KPK menghormati Putusan MA ini hanya pemanis bibir saja, karena ternyata juru bicara dan pimpinan KPK menyatakan tetap akan memanggil Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Nursalim (IN) sebagai tersangka,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Maqdir mengatakan bahwa tindakan KPK secara sengaja menempelkan copy surat panggilan di papan pengumuman PN Jakarta Pusat, seolah-olah telah menjalankan panggilan sesuai dengan hukum, adalah bukti bahwa KPK tidak menghormati putusan MA.
“Sekiranya KPK benar menghormati Putusan MA, maka tidak selayaknya mereka tetap memanggil SN dan IN sebagai tersangka, mengingat dalam Surat Dakwaan SAT dia didakwa melakukan perbuatan pidana bersama-sama dengan SN, IN dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti,” katanya.
Maqdir menunjukkan
bahwa MA dalam putusannya yang dibacakan 9 Juli 2019 lalu itu menyatakan terdakwa SAT terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana sehingga melepaskan terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtsvervolging).
“Dengan demikian berarti bahwa kedudukan SN dan IN sebagai kawan peserta dari SAT dalam melakukan perbuatan pidana adalah batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya,” ujarnya.
Maqdir menjelaskan, MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di negara ini telah memutuskan bahwa penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI BDNI bukan merupakan tindak pidana, hal mana sesuai dengan Release and Discharge (R&D) yang diberikan Pemerintah kepada Sjamsul Nursalim pada 1999 karena telah memenuhi seluruh kewajibannya.
Selain itu, lanjut Maqdir, Presiden pada 2002 juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang pada intinya menginstruksikan bagi pihak yang telah menandatangani MSAA dan telah menerima R&D dari Pemerintah sebagai bukti penyelesaian kewajiban, wajib diberikan bukti jaminan kepastian hukum dan membebaskannya dari segala aspek pidana yang diikuti dengan instruksi penghentian perkara baik di tahap penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan.
“Seharusnya Pimpinan KPK berbesar hati untuk menerima Putusan MA yang menyatakan bahwa perkara yang terkait SN (Sjamsul Nursalim) dan IN (Itjih Nursalim) bukan lagi merupakan perkara yang dapat ditangani oleh KPK,” ungkapnya.
Mengakhiri keterangannya, Maqdir Ismail menyatakan, pernyataan dan tindakan KPK yang bermaksud untuk meneruskan proses pidana terhadap Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim menunjukkan bahwa KPK telah tidak menghormati Putusan MA, R&D dari Pemerintah dan Inpres 2002.
“Serta statement Bapak Wakil Presiden baru-baru ini yang meminta semua pihak untuk menghormati Putusan Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa KPK telah mengabaikan aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan wartawan sehubungan dengan panggilan KPK untuk diperiksa pada Jumat (19/7/2019), Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim lainnya yakni David Suprapto, menambahkan bahwa sesuai informasi dari keluarga, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim tidak pernah menerima panggilan dari KPK.
Baca Juga : Kasus Pemkot Tangerang vs Kemenkumham di Kepolisian Resmi Berakhir