Jakarta, CNN Indonesia — Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Ranik memprediksi pembahasan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) belum bisa dituntaskan pada Juli 2019.
Hal itu tak lepas dari tujuh isu krusial yang terkandung dalam RKUHP yang belum disepakati antara pihak DPR dan pemerintah.
“Tujuh pending issue itu nanti dibawa ke Panja [panitia kerja]. Panjanya belum sepakat. Tunggu pemerintah juga. Jadi saling menunggu,” kata Erma saat ditemui di Kompleks MPR/DPR, Rabu (3/7).
Lebih lanjut, Erma mengatakan pasal mengenai implementasi hukuman mati dan pasal hukuman adat masih menjadi salah satu isu yang diperdebatkan di parlemen.
Khusus untuk implementasi hukum adat, Erma mengatakan masih terjadi perdebatan apakah pasal itu perlu diatur dalam RUU KUHP.
Ia mengatakan perdebatan itu mencakup bagaimana mekanisme untuk mengukur hukum adat agar tak menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
“Orang Aceh misalnya yang melakukan pelanggaran adat di Papua. Kalau misalnya hukumannya harus membayar babi, itu kan bertentangan dengan hukum agama,” kata Erma mencontohkan.
Melihat hal itu, Erma menilai implementasi pasal hukum adat dalam RKUHP belum disepakati karena perlu kehati-hatian dari DPR dan pemerintah untuk memutuskannya lebih lanjut.
Perdebatan itu, kata dia, tentu akan berimplikasi pada RKUHP yang belum bisa disahkan pada Juli 2019 seperti rencana semula.
Erma mengatakan setelah DPR selesai reses pada Agustus mendatang, pihaknya berharap mendapatkan ide dan jalan keluar yang baru untuk menyikapi RKUHP.
Sebelumnya, pembahasan RKUHP telah memasuki tahap konsinyering atau menerima masukan dari pihak terkait pada 25-26 Juni 2019. Tujuh isu krusial dalam RKUHP direncanakan dibahas Panja pada Juli 2019.
Ketujuh isu krusial itu di antaranya tentang pasal hukum adat, pasal pidana mati, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, pasal kesusilaan, pasal terorisme, korupsi, dan narkotika, pasal tentang ketentuan peralihan, dan pasal ketentuan penutup.
Delik Aduan Penghinaan Presiden
Lebih lanjut, Erma menyatakan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam draf RKUHP telah disepakati menjadi delik aduan. Awalnya, pasal itu berbentuk delik biasa.
“Saya cukup senang misalnya perkembangan pasal penghinaan presiden itu menjadi delik aduan,” kata Erma.
Delik aduan sendiri dapat diartikan sebagai delik yang dapat diproses apabila diadukan oleh seseorang yang merasa dirugikan atau telah menjadi korban.
Kaitannya dalam pasal ini, kata Erma, hanya presiden dan wakil presiden saja yang berhak untuk melaporkan hal tersebut.
“Jangan orang yang merasa relawan-relawan mengadu karena merasa terhina. Presidennya saja enggak ngadu, kan. Konsepnya delik aduan itu menurut saya bagus,” ujar Erma.
Baca Juga : China Sebut Demonstran Perusak Parlemen Hong Kong Menginjak-Injak Hukum