tirto.id – Tagar Juwangi ramai dibicarakan di Twitter, Kamis, 20 Juni 2019. Juwangi adalah daerah yang disebut-sebut Beti Kristiana, saksi tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sidang perselisihan hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).
Bersamaan dengan itu identitas Beti pun tersebar. Beti, yang mengaku berasal dari Teras, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu malam (19/6/2019), menyebut beberapa hal yang memicu perdebatan.
Pertama soal keterangan tak ada jalan aspal dari kampungnya menuju Juwangi; kedua adalah soal penemuan tumpukan amplop di Kantor Kecamatan Juwangi. Beti mengaku menemukan tumpukan amplop itu pada 18 April pukul 19.30 WIB atau sehari setelah pencoblosan Pemilu 2019. Namun, Beti tidak melaporkan temuannya ke pihak terkait, seperti polisi atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Menurut Komisioner KPU Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, Beti layak dicurigai karena keterangan-keterangannya yang meragukan. “Kami terus terang saja tidak percaya dengan kualitas saksi kemarin,” kata Hasyim di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (20/6/2019).
“Dia mengaku tinggal di Kecamatan Teras. Tapi kami cek KTP-nya bukan orang situ, orang Semarang,” tambah Hasyim. Keterangan tempat tinggal Beti yang sebenarnya kemudian juga tersebar di media sosial.
Beberapa akun mencuitkan gambar bertuliskan daerah tempat tinggal Beti. Belum diketahui apakah data itu resmi atau tidak. “Beti Kristiana adalah saksi BPN pembohong,” cuit akun @Ayou_Ananda sambil melampirkan foto tulisan daerah asal Beti.
Selain itu ada pula akun yang mengorek tindakan masa lalu dan foto-foto dari akun Facebook dengan nama Beti Yusuf, yang diduga milik Beti Kristiana. Salah satunya adalah informasi soal rencana pengeboman di KPU.
“Beti Kristiana saksi BPN di sidang MK ternyata berpaham radikal. Ingin mengebom Kantor KPU pakai ikat kepala seperti ISIS,” tulis akun @DoresKang.
Soal tudingan radikal ini, Beti dalam persidangan Rabu malam, sudah menjelaskan bahwa akun Facebook miliknya diretas. Keterangan ini disampaikan Beti kepada hakim konstitusi Suhartoyo. Ada pula akun Twitter @Bukandigembok, yang sudah berkali-kali mennyebar data pribadi.
Akun tersebut mengunggah beberapa gambar tangkapan layar, salah satunya tangkapan layar perbincangan WhatsApp salah seorang bernama ‘Beti Gofood’. Di bagian gambar profil, wajah Beti Gofood sama persis dengan Beti Kristiana.
Akun @Bukandigembok kemudian membagikan nomor gawai Beti Gofood tersebut. “Jejak rusuh Betty Kristiana,” potongan cuitan akun @bukandigembok.
Tidak Seharusnya Dilakukan Dosen hukum tata negara dari Universitas Padjajaran, Indra Perwira, mengatakan apa yang dilakukan akun-akun itu termasuk kategori doxing, yaitu mempublikasikan data pribadi seseorang tanpa izin yang bersangkutan dengan maksud negatif.
Dan itu seharusnya tidak dilakukan, kata Indra. Selain karena bisa dijerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), doxing juga sama dengan mencemarkan nama baik seseorang, padahal apa yang dilakukan orang itu belum tentu salah. Dalam konteks persidangan perselisihan hasil pemilu, hakim MK adalah pihak yang paling sepenuhnya berwenang untuk menilai apakah keterangan Beti sahih atau tidak.
Jika doxing terus terjadi, bukan tidak mungkin itu akan membuat peradilan Indonesia berjalan mundur. Saksi bisa jadi takut memberi keterangan karena khawatir data dirinya tersebar dan dia dihujat oleh orang/akun yang sama sekali tidak dikenal. Lebih jauh dari itu, kekerasan fisik bisa saja terjadi.
“Kalau pernyataannya enggak benar, ditangkis saja. Tapi jangan serang pribadinya,” kata Indra. “Dia kan dipanggil hanya untuk memaparkan keterangan.” Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo juga tidak setuju dengan publikasi data pribadi itu.
Menurutnya, saksi menjadi rentan dirundung dan mendapat ancaman. “Potensi ancaman terhadap saksi ini juga terjadi pada kasus publik semacam ini,” kata Hasto kepada reporter Tirto.
Pelanggaran Hukum, Polisi Harus Bertindak
Penyebaran data pribadi sudah pernah terjadi berkali-kali. Padahal sebenarnya ada aturan hukum yang dilanggar dalam tindakan itu.
Wakil Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan publikasi data pribadi bisa dikenakan pidana. Aturannya ada di Pasal 95 A UU Administrasi Kependudukan, yang berbunyi:
“Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dan Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25.000.000,00- (dua puluh lima juta rupiah).”
Merujuk pada beleid yang sama, pembukaan informasi data kependudukan hanya bisa dilakukan instansi-instansi negara tertentu, contohnya Kemendagri dan Kepolisian. Itu pun hanya dalam konteks pelayanan negara.
Wahyudi juga merujuk UU ITE dalam memperkarakan pihak-pihak yang menyebarluaskan data-data pribadi warga negara. Bahkan, kaya Wahyudi, UU ITE memungkinkan penggunaan dua ranah hukum: pidana dan perdata. “Pasal 32 itu ada larangan pembukaan data pribadi seseorang.
Ancaman pidananya ada di pasal 48 bisa mencapai 10 tahun dan denda Rp10 miliar. Karena UU ITE maka mediumnya sistem elektronik apa pun bisa, termasuk media sosial,” katanya.
“Untuk mekanisme perdata, pasal 26 ayat 1, disebut bahwa data pribadi seseorang tak bisa dipindahtangankan semena-mena atau tanpa izin, sehingga pemilik data bisa mengajukan gugatan ke pengadilan” lanjutnya. Kepolisian belum mau bertindak.
Sejauh ini mereka masih menunggu laporan dari orang yang merasa dirugikan karena penyebaran data pribadi itu. “Ya menunggu laporan dulu. Kan belum tahu ada enggak para pihak yang dirugikan,” kata Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo kepada reporter Tirto.
Baca Juga : Alasan Haris Azhar Tolak Jadi Saksi Tim Hukum 02 Di Sidang MK