TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto memberi sinyal menolak permohonan penangguhan penahanan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Kivlan Zen. Surat permohonan itu disampaikan tersangka kasus kerusuhan 22 Mei Kivlan, melalui penasihat hukumnya pada Rabu pekan lalu, 19 Juni 2019.
“Sudah ada, surat (Kivlan) sudah masuk ke saya. Tapi saya tidak mungkin mengintervensi hukum,” ujar Wiranto saat ditemui di kantornya, Jakarta pada Senin, 17 Juni 2019. Menurut dia, hukum tetap berjalan dan tak bisa diintervensi siapapun.
Hukum tetap harus berjalan sampai tuntas. Sehingga, ujar Wiranto, dia tidak mungkin mengintervensi hukum untuk memberikan keringanan kepada siapapun. “Di negeri ini, aturannya seperti itu.” Soal keringanan dan pengampunan, ada di ujung pada saat pelaksanaan hukum.
Mantan Kepala Staf Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat Kivlan Zen mengajukan permohonan perlindungan hukum dan jaminan penangguhan penahanan kepada menteri dan sejumlah perwira tinggi TNI, melalui kuasa hukumnya, Tonin Tachta pada Rabu lalu.
Tonin mengatakan surat permohonan itu diajukan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI Bambang Taufik, Panglima Kostrad Letjen Harto Karyawan, dan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen I Nyoman Cantiasa.
Tonin menjelaskan, surat permohonan perlindungan hukum dan jaminan penangguhan penahanan diajukan lantaran kliennya tidak tersangkuta kasus kerusuhan 22 Mei 2019. Kivlan, kata dia, tidak hadir dalam aksi protes hasil Pilpres 2019.
Selain itu, Kivlan Zen juga bukan dalang rencana pembunuhan terhadap sejumlah tokoh, seperti Wiranto, Luhut Panjaitan, Budi Gunawan, dan Gories Mere. Justru, kata Tonin, kliennya target pembunuhan. “Makanya kami minta perlindungan hokum.”
Baca Juga : Hasil Lengkap Sidang Komdis PSSI, 6 Klub Kena Hukum