JAKARTA, Okezone.com – Kapal pengawas perikanan Pemerintah Vietnam nekat menabrak lambung KRI Tjiptadi-381 yang baru saja menangkap kapal ikan asing (KIA) Vietnam BD-979 yang kedapatan mencuri ikan di Perairan Natuna Utara pada 27 April 2019 lalu.
Insiden laut antar kedua negara ini lantas menuai pertanyaan di benak publik lantaran kapal perang Indonesia itu dinilai tidak tegas, karena awaknya hanya bisa mengumpat, padahal jelas-jelas kapal asing tersebut telah menumbur lambung KRI Tjiptadi-381.
Terkait insiden yang dialami KRI Tjiptati-381 dan kapal Vietnam, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Eddy Pratomo mengatakan, baik publik maupun pejabat berwenang sejatinya jangan tergesa-gesa menyimpulkan bahwa lokasi kejadian itu berada adalah di wilayah RI. Semua pihak harus terlebih dulu memahami betul di mana persisnya insiden itu terjadi, apakah benar di wilayah laut RI atau justru sebaliknya.
“Mungkin saja lokasi kejadian di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang sama-sama diklaim, baik oleh Indonesia maupun Vietnam karena kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE,” kata Eddy dalam keterangan tertulisnya kepada Okezone di Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Jika lokasinya berada pada wilayah tumpang tindih lanjut Eddy, maka kedua negara sama-sama berhak melakukan patroli dan sama-sama berhak untuk menghalangi penegakan hukum oleh negara lain.
“Namun demikian, terlepas dari manapun lokasinya, tindakan kapal Vietnam yang melakukan tumburan terhadap KRI Tjiptadi-381 jelas melanggar hukum internasional, khususnya International Regulations for Preventing Collisions at Sea 1972 (COLREGS) dan International Convention for the Safety of Life at Sea 1974 (SOLAS),” kata dia.
Kapal Vietnam
Dengan demikian, protes Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menurut Eddy sudah tepat jika diarahkan kepada tindakan penumburan itu. Tindakan KRI Tjiptadi-381 yang lebih menahan diri juga menurutnya sudah tepat karena berdasarkan hukum internasional, khususnya pada kasus Guyana versus Suriname (dalam forum Arbitral Tribunal UNCLOS pada tahun 2004), penggunaan use of force hanya dapat dibenarkan jika memenuhi tiga syarat yaitu tidak terhindarkan, kewajaran (reasonableness) dan keharusan (necessity).
“Pemerintah RI sebaiknya memiliki standard pedoman bersama di wilayah tumpang tindih klaim seperti ini, sehingga penegakan hukumnya tidak selalu disamakan dengan wilayah ZEE lainnya yang sudah jelas,” tuturnya.
UNCLOS 1982 lanjut Eddy, sebenarnya mengharuskan dibuatnya provisional arrangement atau pengaturan sementara berdasarkan Pasal 74 di wilayah perairan yang belum disepakati batas ZEE-nya.
“Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya insiden-insiden seperti di perbatasan Vietnam tanggal 27 April 2019 dan di perbatasan Malaysia pada tanggal 3 April 2019,” ujar Eddy.
Baca Juga : Juniver Girsang: Masih Ada Kasus Yang Membuat Tidak Adanya Kepastian Hukum Investasi