Hukumonline.com – Tanggal 20 April diperingati sebagai Hari Konsumen Nasional (Harkonas). Penetapan Harkonas tak bisa dilepaskan dari UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Harkonas mengacu pada momen disahkannya UUPK pada 20 April 1999.
Memperingati Harkonas, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti beberapa hal mengenai perlindungan konsumen di Indonesia. Dilansir dari website resmi YLKI, Senin (22/4), Ketua YLKI Tulus Abadi menyampaikan ada tiga hal yang masih menjadi catatan bagi pemerintah terkait perlindungan konsumen.
Pertama, keberadaan UUPK dinilai belum cukup ampuh memberikan perlindungan pada konsumen. Hal ini disebabkan pemerintah belum serius menjadikan UUPK sebagai basis hukum untuk melindungi dan memberdayakan konsumen. Rendahnya Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) yang masih bertengger pada skor 40,41 adalah buktinya.
“Jauh dibandingkan dengan skor IKK di negara maju, yang mencapai minimal skor 53. Bahkan Korea Selatan skor IKK-nya mencapai 67. Artinya tingkat keberdayaan konsumennya sudah sangat tinggi,” kata Tulus.
Kedua, jika disandingkan dengan derasnya gempuran era digital ekonomi, rendahnya IKK di Indonesia adalah hal ironis. Sebab rendahnya IKK berkelindan dengan rendahnya literasi digital konsumen. Pantaslah jika konsumen Indonesia saat ini ada kecenderungan menjadi korban produk-produk ekonomi digital, seperti e-commerce dan finansial teknologi. Hal ini ditandai dengan tingginya pengaduan konsumen di YLKI terkait produk ekonomi digital tersebut.
Dan ketiga, Tulus menambahkanlebih ironis manakala pemerintah masih abai terhadap upaya melindungi konsumen terhadap produk produk ekonomi digital tersebut. Hal ini dibuktikan dengan masih mangkraknya RPP tentang belanja online.
“YLKI mempertanyakan dengan keras, ada kepentingan apa sehingga pemerintah masih malas mengesahkan RPP tentang belanja online?” tambahnya.
Oleh karena itu, lanjut Tulus, pemerintah harus menjadikan Harkonas sebagai momen untuk meningkatkan keberdayaan konsumen Indonesia, yang ditandai dengan meningkatnya skor IKK. Terkait hal ini, dan dalam konteks hasil pilpres dan pemilu legislatif, lima tahun ke depan pemerintah harus menjadikan isu perlindungan konsumen dan indeks keberdayaan konsumen menjadi arus utama dalam mengambil kebijakan yang berdampak terhadap konsumen.
Tulus mengatakan, sepanjang lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, dalam banyak hal belum menunjukkan keberpihakan nyata pada perlindungan konsumen. Walaupun di era Presiden Jokowi telah diterbitkan Perpres No. 50 Tahun 2017 tentang Strategi Perlindungan Konsumen, namun nyatanya Stranas Perlindungan Konsumen hanya berhenti pada tataran formalitas belaka.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan, Kementerian Perdagangan tengah berupaya mendorong kualitas dan daya saing produk dengan meningkatkam angka IKK.
“Kemendag menargetkan peningkatan angka Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) di tahun 2019 menjadi sebesar 45. Berdasarkan hasil survei tahun 2018, Kemendag mendapatkan angka Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) sebesar 40,41 atau meningkat dibandingkan tahun 2017 yang sebesar 33,70,” jelas Enggartiasto dikutip dari website resmi Kemendag.
IKK merupakan dasar untuk menetapkan kebijakan di bidang perlindungan konsumen dan untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen akan hak dan kewajibannya, serta kemampuan dalam berinteraksi dengan pasar. Hasil IKK tahun 2018 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Konsumen Indonesia telah menuju Level Mampu yang sebelumnya hanya berada pada Level Paham.
“Level Mampu artinya konsumen Indonesia telah mampu menggunakan hak dan kewajibannya sebagai konsumen untuk menentukan pilihan terbaik serta menggunakan produk dalam negeri. Dengan semakin meningkatnya kesadaran konsumen dalam menggunakan hak dan kewajibannya, maka tidak hanya akan menguntungkan konsumen itu sendiri, tetapi juga akan mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas dan saya saing produknya,” ujarnya.
Enggartiasto juga menjelaskan, ada tiga mandat dari Presiden Joko Widodo yang diemban Kemendag, yaitu menjaga stabilitas harga dan ketersedian bahan pokok, meningkatkan kinerja ekspor, serta membangun dan merevitalisasi pasar. Dari ketiga mandat tersebut, terdapat dua pilar yang harus diperhatikan Kemendag yang terkait dengan pemberdayaan konsumen seperti memfasilitasi produsen untuk tumbuh berkembang serta maju dan memberdayakan konsumen.
“Pemerintah saat ini meletakkan perhatian sangat mendalam kepada konsumen, dengan memperhatikan aspek kesehatan, keselamatan, standar kualitas produk, harga, dan ketepatan ukuran,” imbuhnya.
Baca Juga : Ketika Hakim PN Selatan Diadili Hakim PN Tipikor Jakarta