TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyoroti sejumlah terpidana kasus korupsi yang mengajukan upaya peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA). Menurut dia, ada tiga faktor mengapa belakangan ini upaya pengajuan PK semakin marak.
“PK merupakan hak terpidana untuk mengajukan upaya hukum luar biasa. Kita menunggu dan menyimak bagaimana proses sidang, karena sampai saat ini saya belum mendengar ada putusan PK yang ramai diajukan oleh para koruptor,” kata Abdul Fickar Hadjar, kepada wartawan, Selasa (26/3/2019).
Dia menjelaskan, berakhirnya masa jabatan hakim agung Artijo Alkostar tidak dapat dipisahkan dari peristiwa maraknya penggunaan upaya hukum PK oleh para terpidana korupsi yang putusannya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap atau terpidana yang menerima putusan tanpa mengajukan upaya hukum.
Selama ini, kata dia, Artijo dipandang sebagai “algojo” di MA. Hal ini, karena hampir setiap perkara kasasi atau PK yang diputus hakim agung Artijo bertambah masa hukumannya.
“Pada zamannya para terpidana korupsi tidak optimal menggunakan upaya hukum, karena kekhawatiran akan terbentur di tangan hakim agung Artijo. Karena itu, mereka tiarap. Para terpidana korupsi tidak khawatir kehilangan momentum atau batas waktu, karena secara yuridis hal-hal yang dapat dijadikan dasar dan alasan PK relatif longgar dari segi waktu,” ungkapnya.
Sejumlah upaya pengajuan PK yang diajukan setelah Artijo pensiun, antara lain, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, pengusaha Andi Zulkarnain Anwar alias Choel Mallarangeng, mantan menteri agama Suryadharma Ali, mantan menteri kesehatan Siti Fadilah Supari, mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum serta mantan Ketua DPD Irman Gusman.
Dia menjelaskan, upaya hukum luar biasa yang diajukan oleh Antasari Azhar membuata PK dapat diajukannya lebih dari satu kali. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
“Konsekuensi dari putusan ini, terpidana sekarang dapat mengajukan permohonan kembali lebih dari satu kali sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur,” kata dia.
Dalam putusannya, MK menekankan keadilan tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa, PK hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan.
“Putusan ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 66/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 45/PUU-XIII/2015,” ujarnya.
Faktor ketiga, ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum khususnya penegakan hukum tindak pidana korupsi, terutama yang diajukan perkaranya oleh KPK. Dia menambahkan, dengan kemampuan mencari dan mengumpulkan alat bukti KPK sepertinya telah “menghegemoni” kekuasaan kehakiman di bidang peradilan tindak pidana korupsi, dan ini oleh sebagian orang terutama para terpidana korupsi dianggap sebuah keanehan.
“Faktor inilah yang menimbulkan ketidak percayaan akan mekanisme proses hukum peninjauan kembali,” tambahnya.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sekurangnya ada 26 narapidana korupsi tengah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung sejak 9 Maret 2018 sampai 13 Desember 2018.
Dari 26 narapidana korupsi tersebut ada 21 narapidana korupsi yang mengajukan PK setelah Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun pada Selasa (22/5/2018).
Mereka antara lain Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Mantan Menteri Agama Surya Dharma Ali, Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Jero Wacik, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, Anggota DPR RI Dewie Yasin Limpo, dan sejunlah orang lainnya dari berbagai latar belakang.
Baca Juga : Brunei Akan Terapkan Hukum Rajamm Sampai Mati Bagi LGBT