Ahli Hukum Nilai Wewenang Penyidikan OJK tak Bertentangan
Ahli Hukum Nilai Wewenang Penyidikan OJK tak Bertentangan

Ahli Hukum Nilai Wewenang Penyidikan OJK tak Bertentangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -Gugatan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) terkait Pasal 1 dan 9 Undang-Undang No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai tidak pas. Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, menilai wewenang penyidik OJK tak bertentangan dengan UUD 45 seperti yang dituduhkan.

Sebelumnya, Mahupiki menggugat penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 1 dan 9 UU No 21 tahun 2011 tentang OJK. Penggugat menilai, pasal dalam Undang-Undang UU OJK dapat menimbulkan kesewenang-wenangan, karena penyidik OJK tidak berada di bawah koordinasi kepolisian.

Chairul Huda yang merupakan ahli dari pemerintah, menilai UU OJK tak bisa menimbulkan kesewenang-wenangan. Chairul menjelaskan, ketentuan tersebut dikenal dengan sebutan Hukum Pidana Administratif.

“Norma Hukum Pidana yang ditentukan dalam UU OJK tergolong di dalamnya. Dalam hal ini penggunaan saran penal untuk memastikan norma administratif dimaksud ditaati,” ujar Chairul.

Chairul menjelaskan, dalam KUHAP diakui adanya penyidik di luar lembaga Polri, yang disebut penyidik khusus, dalam hal ini adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Ia pun mengaku heran dengan adanya pihak yang menilai UU OJK bertentangan dengan konsepsi criminal justice system.

“Pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK pada dasarnya masih merupakan bagian dari desain besar konsepsi criminal justice system yang fundamennya ditentukan KUHAP,” ujar Chairul.

Dosen UMJ tersebut juga menjelaskan, jika ada pihak yang memandang pemberian wewenang penyidikan OJK bertentangan, mungkin saja pihak tersebut melihat sistem hukum negara lain. Bukan mengacu pada sistem hukum di Indonesia.

“Secara akademik untuk kepentingan perbandingan mungkin boleh-boleh saja, tetapi semestinya tidak demikian dalam menguji konstitusionalitas suatu norma,” ujar Chairul.

Selain itu, OJK bukanlah lembaga pertama dan satu-satunya yang mempunyai kewenangan penegakan hukum administratif dan penegakan hukum pidana sekaligus. Pola serupa juga terlihat di sektor perpajakan, keimigrasian, dan kepabeanan.

Chairul juga memandang, latar belakang pembentukan UU OJK memang dimaksudkan untuk menjadikan undang-undang tersebut sebagai umbrella act, bagi pengawasan sektor jasa keuangan. Karena, berdasarkan sejumlah undang-undang telah terlebih dahulu ada, justru dirasakan tidak cukup efektif memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa keuangan secara parsial.

“OJK memang dimaksudkan sebagai badan negara independen, yang mengumpulkan kewenangan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan dalam satu tangan, termasuk dengan memberikan kewenangan penggunaan instrumen pidana,” ujar Chairul.

Maka dari itu, Chairul menegaskan bahwa pandangan dari pemohon yang menilai pemberian wewenang untuk penyidikan OJK bertentangan dengan integrated criminal justice system, adalah tidak tepat.

“Dalam hal ini, konsepsi integrated criminal justice system terutama ditujukan untuk membangun kesadaran adanya satu kesatuan tujuan bagi subsistem-subsistem yang ada di dalamnya, tanpa mengabaikan pentingnya pengawasan horizontal di antara mereka,” ujar Chairul.

Baca Juga : Jurnalis Jatim, Antusias Ikuti Pelatihan Jurnalisme Hukum

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024
Presidium DPP KAI Kukuhkan 15 AdvoKAI & Resmikan LBH Advokai Lampung
July 20, 2024
Rapat Perdana Presidium DPP KAI, Kepemimpinan Bersama Itu pun Dimulai
July 3, 2024
Tingkatkan Kapasitas Anggota tentang UU TPKS, KAI Utus 20 AdvoKAI untuk Ikut Pelatihan IJRS
June 26, 2024