matamatapolitik.com — Bulan Februari 2008, Bambang, seorang ahli bedah di Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara (DKT) di Madiun, Jawa Timur, dilaporkan ke polisi oleh pasiennya, Johanes Tri Handoko, mengenai izin praktiknya. Pengadilan Negeri Madiun membebaskan Bambang. Namun, Mahkamah Agung mengabulkan banding jaksa pada tanggal 30 Oktober 2013.
Dokter bedah tersebut dinyatakan bersalah melanggar Pasal 76 dan 79 UU 2004 tentang Praktik Kedokteran karena melakukan praktik kedokteran tanpa izin praktik dan tidak memberikan layanan medis sesuai dengan standar profesional dan prosedur operasi standar. Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman penjara satu setengah tahun.
Tapi Bambang seharusnya tidak dipenjara. Enam tahun sebelumnya, tanggal 19 Juni 2007, Mahkamah Konstitusi (yang memiliki wewenang untuk menilai semua ketetapan konstitusi) telah menghapus ketentuan hukuman penjara atas pasal-pasal tersebut.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan tersebut telah menyebabkan ketidakamanan dan ketakutan sebagai akibat dari sanksi pidana yang tidak proporsional yang ditetapkan dalam peraturan. Karena itu, dokter yang melanggar pasal hanya dapat dijatuhi hukuman denda, bukan penjara.
Kasus Bambang adalah contoh dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang tidak ditegakkan. Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keputusan pengadilan bersifat final dan mengikat. Ini berarti semua keputusan harus dipatuhi dan diterapkan. Tapi faktanya tidak demikian.
APA YANG MENAHANNYA?
Setidaknya dua faktor menyebabkan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang peninjauan kembali yang tidak ditegakkan. Pertama, penegak hukum tidak mengetahui keputusan pengadilan. Banyak ketentuan hukum yang telah dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi yang tidak didokumentasikan dengan baik. Dari tahun 2003 hingga 2017, 574 ketentuan dinyatakan tidak konstitusional.
Ketika penegak hukum berurusan dengan aturan, mereka harus mengikuti perubahan. Ini tidak mudah karena banyak perubahan yang terjadi. Misalnya, ada 15 ketentuan dalam KUHP yang telah dinyatakan tidak konstitusional dari tahun 2003 hingga 2017.
Terdapat sebuah kasus yang menggambarkan masalah ini. tanggal 13 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang memutuskan Pasal 31 Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat sebagai tidak konstitusional. Pasal tersebut melarang seseorang yang bukan berprofesi advokat untuk bertindak sebagai advokat. Namun, tahun 2008, beberapa penegak hukum masih menggunakan pasal itu.
Kedua, pengadilan kadang-kadang tidak mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang ditunjukkan dalam kasus Bambang. Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat.
Namun, di bawah Undang-undang Mahkamah Konstitusi, semua keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Semua keputusan Mahkamah Konstitusi harus ditegakkan oleh semua pihak, termasuk Mahkamah Agung dan Jaksa Agung.
Kasus lain adalah ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan pada tahun 2013 bahwa kasus pidana dapat ditinjau lebih dari satu kali. Namun, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran pada tahun 2014 yang membatasi peninjauan kasus pidana menjadi hanya sekali.
Tahun 2016, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa seorang jaksa tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam kasus pidana. Namun Jaksa Agung mengabaikan hal ini dan telah menyatakan bahwa jaksa akan terus mengajukan permohonan peninjauan kembali.
PERATURAN DENGAN HUKUM ADALAH SOLUSI TERBAIK
Solusi bagi pengadilan yang mengabaikan Mahkamah Konstitusi adalah dengan membuat peraturan untuk setiap norma yang telah ditentukan Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Hukuman 15 Tahun Setnov Adalah ‘Titik Balik’ Perang Lawan Korupsi di Indonesia
Tindakan ini sebenarnya telah diatur di bawah Undang-undang tentang Perumusan Undang-Undang tahun 2011. Parlemen dan pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur undang-undang baru berdasarkan paragraf, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang secara tegas dinyatakan dalam keputusan Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang baru ini juga dimaksudkan untuk mencegah kekosongan hukum bagi norma setelah keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun, belum ada undang-undang baru berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Indonesia membutuhkan kemauan politik dari anggota legislatif untuk mengeluarkan peraturan baru sebagai tanggapan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi. Jika tidak, pengadilan tertinggi tersebut akan terus diabaikan dan norma-norma inkonstitusional akan terus diterapkan pada warga negara.
Oleh: Muhammad Tanziel Aziezi (The Conservation),Muhammad Tanziel Aziezi adalah peneliti di Lembaga Independensi Peradilan (LEIP) di Jakarta, Indonesia.
Baca Juga : Sejarah Baru, Saham Freeport Telah Menjadi Milik Indonesia