Hukumonline.com – Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly menyebutkan empat keunggulan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di hadapan ratusan peserta pembukaan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara yang berlangsung di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat Jumat (9/11).
Pada konferensi yang sama, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengharapkan rekomendasi dari hasil diskusi para ahli hukum tata negara untuk menjadi solusi sejumlah permasalahan dalam UU Pemilu.
Perhelatan ini adalah Konferensi Hukum Tata Negara ke-5 yang menghadirkan para akademisi dan praktisi dari seluruh Indonesia dalam forum ilmiah. Tema kali ini fokus pada penyelenggaraan pemilu.
Dalam sambutan yang dibacakan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Widodo Ekatjahjana, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan UU Pemilu yang ada saat ini adalah gabungan dari UU Pemilu sebelumnya, bahkan telah sejalan dengan petunjuk dari putusan Mahkamah Konstitusi No.14/PUU-XI/2013 terkait pemilihan umum.
“Semua ini demi menjamin konsistensi dan kepastian hukum serta pemilu yang efektif dan efisien serta menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” kata Yasonna seperti dibacakan.
UU Pemilu ini menurutnya telah berhasil menyatukan tiga regulasi berkaitan pemilihan eksekutif dan legislatif yaitu UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Ada empat pujian Yasonna tentang UU Pemilu. Pertama, metode konversi suara menjadi kursi DPR dan DPRD yangsi berganti menjadi sainte lague (sistem bilangan pembagi suara). UU Pemilu sebelumnya memakai sistem kuota dengan bilangan pembagi pemilih. Metode baru ini disebutnya mengedepankan prinsip kebersamaan.
Kedua, UU Pemilu ini memberikan batasan agar tidak terjadi calon Presiden dan Wakil Presiden tunggal, dan ini ada kaitannya dengan presidential threshold. Ketiga, ada restrukturisasi terhadap penyelenggara pemilu dengan mengatur jumlah personil KPU dan Bawaslu termasuk membuat Bawaslu Kabupaten dan Kota sebagai lembaga permanen.
Keempat, penanganan pelanggaran pemilu diatur lebih sistematis dalam UU Pemilu yang berlaku saat ini. Dalam konteks itu, Yasonna mengajak partisipasi kalangan akademisi hukum tata negara untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan maupun pelaksanaan penyelenggaraan pemilu.
“Momentum pemilu legislatif dan pemilu presiden yang bersamaan ini, tentu menjadikan pemilu lebih rumit baik dalam pengawasan maupun dalam implementasinya,” katanya dalam teks sambutan yang dibacakan Widodo.
Ketua Bawaslu, Abhan yang juga hadir memberikan sambutan dalam pembukaan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-5 justru mengungkapkan kekhawatirannya terkait UU Pemilu. “Kita akan dihadapkan dengan beberapa hal terkait regulasi di undang-undang Pemilu, misalnya soal hak pilih yang harus didasarkan pada KTP elektronik,” ujarnya.
Abhan menyampaikan harapannya agar hasil konferensi memberikan sejumlah rekomendasi atas kelemahan UU Pemilu. Salah satunya karena Pemerintah belum bisa menyelesaikan persoalan jutaan pemilik hak suara yang belum melakukan perekaman KTP elektronik.
“Data terakhir masih ada tiga sampai empat juta masyarakat yang belum melakukan perekaman E-KTP termasuk suku pedalaman,” kata Abhan.
Berkaitan dengan pendataan para pemilik hak suara, Abhan juga risau dengan para pemilih mula yang baru genap berusia 17 tahun saat memasuki bulan Pemilu. Mereka otomatis dianggap tidak berhak melakukan perekaman KTP elektronik saat ini karena masih di bawah usia dewasa.
Kalangan calon pemilih mula ini terancam kehilangan hak pilih karena belum ada regulasi yang mengatur solusinya.
Solusi mengenai Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus untuk memfasilitasi pemilih di Rumah Tahanan, Lembaga Pemasyarakatan, serta Rumah Sakit yang tidak bisa datang ke TPS juga menjadi catatannya. Pengaturan dalam UU Pemilu dianggap Abhan belum memadai untuk melindungi hak para pemilih ini.
Abhan berharap ada solusi alternatif yang bisa dilakukan apabila penuntasan KTP elektronik bagi semua pemilik hak suara tidak bisa selesai di tahun 2018. Menurutnya diperlukan payung hukum agar para penyelenggara Pemilu dapat melindungi kedaulatan rakyat melalui hak pilih.
“Kami harap forum ini akan memberikan beberapa rekomendasi khususnya bagi penyelenggara pemilu,” katanya.
Empat orang hakim konstitusi tampak hadir dalam konferensi nasional ini yaitu I Dewa Gede Palguna, Manahan Sitompul, Suhartoyo, dan Saldi Isra. Para mantan hakim konstitusi turut pula hadir yaitu Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Harjono serta Mahfud MD selaku Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
Perwakilan Gubernur Sumatera Barat, Bupati Tanah Datar-Batusangkar, Dekan Fakultas Hukum dan Rektor Universitas Andalas juga menghadiri malam pembukaan di Hotel Emersia Batusangkar ini selaku para tuan rumah Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-5 kali ini.
Baca Juga : Penumpang Gugat Garuda Indonesia dan CIMB Niaga ke Jalur Hukum