Republika.co.id – Pengamat politik Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai, maraknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat daerah disebabkan hukuman yang ringan. Menurutnya, hukuman penjara tak akan membuat koruptor jera.
Ray menegaskan, persoalan korupsi di Indonesia ini tidak semata-mata berhubungan dengan pengawasan dan sanksi, melainkan sudah menjadi kultur. “Jadi semacam kultur dikira itu kalau gak korupsi, gak keren,” katanya kepada wartawan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/10).
Karena itu, ia menambahkan, yang perlu dilakukan saat ini adalah membangun kultur yang bersih korupsi. Meski ia menyebut, membangun kultur bukanlah pekerjaan mudah. Ray mencontohkan, hampir setiap hari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil orang-orang yang terkait kasus korupsi. Namun, tak ada pejabat yang jera juga dan tetap korupsi.
Ray menyimpulkan, cara pandang mereka tak berubah meski penegakan hukum terus dilakukan. “Jadi mereka tetap memandang korupsi tak ada masalah, masalahnya kalau ketangkap KPK,” katanya.
Ray mengatakan, persoalan korupsi tak bisa sepenuhnya dilimpahkan kepada partai politik. Menurut dia, korupsi lebih bersifat individual. Namun, di sisi lain, partai tidak pernah benar-benar berupaya mencegah kadernya berlaku korupsi. Partai baru bersikap jika ada anggotanya yang tertangkap.
“Tapi sejak awal mereka gak membuat satu pendidikan politik di internal partai yang memang mengharamkan kegiatan yang bersifat koruptif ini. Jadi ada faktor partai gak tegas secara internal,” kata dia.
Ray menegaskan, ujung dari semua itu adalah tak berdampaknya sanksi yang berlaku bagi mental koruptor. Menurut dia, hukuman penjara bagi koruptor adalah hal yang sangat biasa. Seharusnya, kata dia, hak politik koruptor ducabut.
Ia mencontohkan, ketika koruptor dijatuhi hukuman penjara selama tujuh tahun, sikapnya masih tenang tanpa beban. “Kita lihat lah kelakuan mereka di penjara, tak ada yang merasa menyesal,” ungkap dia.
Namun, Ray menegaskan, jika sanksi yang diberikan adalah pencabutan hak politik, para koruptor akan gelisah. Pasalnya, koruptor melakukan tindakan itu menggunakan kekuasaan politik.
“Kalau mereka gak duduk di kursi-kursi itu kan mereka gak bisa (korupsi). Dan jabatan itu semua jabatan politik. Karena itu sudah dikhianati, cabut itu dari mereka,” tegas Ray.
Ironisnya, kata dia, hal yang sebenarnya telah tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) itu ditolak oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Ke depan, kata dia, para pembuat kebijakan harus berani memasukkan sanksi kepada koruptor dalam Undang-Undang, bukan sekadar PKPU.
“Mereka yang sudah pernah dijatuhi hukuman pidana karena tindak korupsi, harus dicabut hak politiknya. Meskipun tidak permanan, misalnya sekali atau dua kali pemilu. Karena kan kita lihat begitu dia lepas dari penjara ada yang nyaleg,” kata dia.