JAKARTA, (PR).- Komisi Pemberantasan Korupsi berpeluang untuk segera menetapkan induk perusahaan Lippo Group ataupun anaknya sebagai tersangka korupsi korporasi.
Penyuapan yang dilakukan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin jelas dilakukan untuk dan atas kepentingan korporasi. Meskipun demikian, KPK memang harus terlebih dahulu melihat sejauh mana ”inisiatif” direksi dalam kasus tersebut.
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menyatakan, komisi antirasywah harus hati-hati dalam memidanakan sebuah korporasi. Hal itu agar tidak merugikan pihak-pihak yang tak bersalah, dalam hal ini konsumen Meikarta.
”Tersangka yang sekarang sudah ditahan, dia jabatannya Direktur Operasional Lippo Group. Kalau petinggi korporasi semacam itu, apa yang dia lakukan otomatis itu perilaku korporasi,” katanya melalui telefon, Kamis 18 Oktober 2018.
Menurut dia, peluang untuk menetapkan korporasi sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan izin proyek bernilai total Rp 278 triliun itu sangat besar. Apalagi untuk PT Mahkota Sentosa Utama, anak perusahaan PT Lippo Cikarang, yang menggarap proyek seluas 774 hektare itu.
”Karena itu dilakukan oleh petinggi korporasi,” tuturnya.
Hanya, kata dia, penetapan korporasi sebagai tersangka bersifat tidak mutlak, tidak selalu harus dilakukan. Apabila keadilan sudah bisa dicapai dengan menuntut orang, dalam hal ini pejabatnya, tidak harus juga memidanakan korporasi.
Akan tetapi, jika keadilan dipandang tidak bisa dicapai dan korporasi memiliki kepentingan, bisa saja KPK kemudian menetapkan anak perusahaan Lippo Group menjadi tersangka.
Tak hanya itu, Lippo Group—sebagai induk perusahaan—juga dapat ditetapkan sebagai tersangka. Hal itu mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengaturan Tindak Pidana oleh Korporasi.
”Itu tentu harus ada kajian lebih jauh. Kalau kita baca Perma 13 itu, sangat mungkin, bergantung bagaimana perusahaan induk terlibat di dalam tindak pidana ini,” ujarnya.
Perbuatan Billy Sindoro, menurut dia, cukup jelas mengindikasikan bahwa unsur korporasi yang terlibat, baik itu PT Mahkota Sentosa Utama, PT Lippo Cikarang Tbk, bahkan Lippo Group.
”Sudah jelas itu perbuatan korporasi karena penyuapan untuk memperoleh izin pendirian proyek perusahaan, bukan proyek pribadi. Dia direktur operasional, bagian dari direksi. Apa yang dia lakukan adalah perbuatan korporasi,” tuturnya.
Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa KPK perlu terlebih dahulu membuat pertimbangan matang untuk memidanakan korporasi.
”Jangan sampai semangat untuk memidanakan korporasi justru jadi bumerang karena banyak pihak yang tidak bersalah menjadi korban. Konsumen harus diperhatikan, tidak ikut dirugikan. Konsumen tidak bersalah,” katanya.
Subjek pelaku
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi bisa dilakukan baik berdasarkan hubungan kerja, sendiri, maupun bersama-sama.
”Jadi, siapa pun dalam organisasi perusahaan yang melakukan tindak pidana korupsi untuk kepentingan perusahaan dapat disebut mewakili korporasi. Oleh karena itu, korporasi dapat ditempatkan sebagai subjek pelaku pidana,” ujarnya.
”Saya berpendapat, korporasi Meikarta sudah menjadi subjek pelaku yang dilakukan oleh pengurusnya, termasuk salah seorang yang kena OTT KPK (Billy Sindoro),” tuturnya.
Oleh karena itu, menurut dia, KPK dapat langsung menetapkan tersangka terhadap korporasi, mengingat semua perizinan yang dibarengi suap itu untuk kepentingan perusahaan.
”Keseriusan dan keberanian KPK menjadi taruhannya. Suap menjadi kebijakan korporasi dalam penganggaran meskipun menggunakan terminologi lain,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, penetapan sebuah korporasi sebagai tersangka pernah dilakukan oleh KPK, yakni terhadap PT Duta Graha Indah (DGI) yang kini berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE).
PT DGI ditetapkan sebagai tersangka dalam proyek senilai Rp 138 miliar untuk pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus di Universitas Udayana pada 2009 dan 2010. Dalam kasus itu, kerugian negara mencapai Rp 25 miliar.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016, hukuman pidana pokok terhadap korupsi dalam regulasi itu adalah denda.
Akan tetapi, penegak hukum juga dapat menerapkan pidana tambahan, seperti pembekuan kegiatan usaha korporasi, pencabutan izin usaha, pembubaran dan/atau pelarangan korporasi. Selain itu, dapat pula dilakukan perampasan aset korporasi untuk negara dan/atau pengambilalihan korporasi oleh negara.
Preseden baik
Kriminolog Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar juga menyatakan bahwa KPK sangat mungkin menjerat Lippo Group dalam tindak pidana tersebut. Apalagi jika korporasi tersebut merupakan subjek hukum yang memerintahkan penyuapan dan tindakan-tindakan tertentu lainnya.
Akan tetapi, menurut dia, untuk menjadikan korporasi bertanggung jawab dalam kasus tersebut, harus dilihat terlebih dulu sejauh mana ”inisiatif” direksi dalam menyuap ataupun melakukan gratifikasi. Bukti-bukti itu yang harus dicari dan diungkapkan oleh KPK nantinya.
”Namun, saya memiliki kecenderungan, Lippo bisa dimintai pertanggungjawaban,” katanya.
Yesmil Anwar mendasarkan dugaannya kepada besaran uang yang diberikan kepada para pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi. Menurut dia, dari upaya penyuapan oleh Direktur Lippo Grup itu, akan terlihat arah keterlibatan korporasi.
”Ini ada pemberian uang sebesar belasan miliar. Apakah ini inisiatif si direktur? Terus, uangnya dari mana? Uang direktur sendiri? Uang sebesar itu bisa saja berasal dari persetujuan direksi dan komisaris. Ini yang harus dibuka,” tuturnya.
Ia menyebutkan, bila KPK membawa kasus Meikarta ini ke arah korporasi, itu akan memberikan preseden yang baik. Selama ini, perkara korupsi yang melibatkan korporasi hanya menyasar individu pejabatnya. Korporasinya sendiri selalu lolos.
Yesmil Anwar mencontohkan perkara-perkara korupsi di BUMN yang hanya menjerat pejabat-pejabat publiknya, sedangkan perusahaannya terus berjalan.
”Kalau melihat kondisi seperti ini, sulit rasanya untuk menjangkau korporasi bertanggung jawab secara hukum,” ucapnya.
Baca Juga : Roro Fitria Divonis Empat Tahun Penjara Dalam Kasus Narkotik