Cnnindonesia.com – Terdakwa korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung dituntut 15 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Syafruddin mengatakan bakal mengajukan pelidoi pekan depan.
“Kami akan siapkan pleidoi sendiri. Saya mengajukan pleidoi dan penasihat hukum juga akan mengajukan pleidoi sendiri,” kata Syafruddin di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (3/9).
Pengacara Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra mengatakan setidaknya ada tiga poin yang bakal dimasukkan ke pleidoi atas tuntutan jaksa tersebut. Pertama, Yusril mengatakan ada kejanggalan dalam bagian tempus delicti (waktu terjadinya suatu tindak pidana).
Yusril mengungkapkan Syarifruddin sudah menyerahkan seluruh tanggungjawabnya selaku ketua BPPN kepada Menteri Keuangan pad atahun 2004. Penyerahan tanggungjawab itu termasuk hak tagih sebesar Rp4,8 triliun kepada petani tambak.
“3 tahun kemudian hutang petani tambak Rp4,8 triliun itu dijual dengan persetujuan Sri Mulyani barangkali juga dengan persetujuan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),” ujar dia.
Saat menyetujui hal itu, auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak mencantumkan kerugian negara sebesar Rp4,7 triliun pada tahun 2007. Sehingga Yusril menganggap ada kejanggalan proses waktu pidana dan jabatan Syarifuddin.
“Pak Syafruddin sudah selesai menjabat sebagai ketua BPPN tahun 2004 dan tindak pidana terjadi 2007 maka tempus delicti tidak bisa dibebankan kepada pak Syafruddin,” jelas dia.
Kedua, Yusril mengungkapkan ada perubahan hukum dalam Undang Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dulu, kata Yusril, Undang undang tersebut berbunyi ‘Barang siapa yang melakukan tindakan memperkaya diri sendiri dan merugikan negara dapat dikenakan tindak pidana’.
“Kata ‘dapat’ itu dulu memungkinkan suatu hal yang potensial sudah bisa dipidana. Tapi itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Yusril.
Kata ‘dapat’ dalam Undang-undang yang baru sudah dihilangkan. Sehingga, menurutnya, jaksa harus bisa menghitung kerugian negara yang riil baru bisa menjerat Syarifuddin dengan Undang Undang Tipikor.
“Waktu pidana tahun 2007 dan dituntut 2018. Ya kalau sekarang diterapkan ya sebenarnya kerugian negara harus konkret dihitung dulu,” kata Yusril.
“Lagipula jika ada Undang-undang yang berbeda maka hukum yang paling meringankan terdakwalah yang dipakai,” lanjut dia.
Terakhir, Yusril menekankan dalam pleidoinya akan memasukkan perihal rapat Syarifuddin di Lampung saat menjadi Sekretaris Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KKSK). Dalam rapat itu, Syarifuddin disebut menawarkan memotong hutang petani.
“Jaksa hanya menggunakan notulensi tanpa tandatangan dan kop surat artinya notulensi ini tidak ada kekuatan secara Yuridis,” terang Yusril.
Syarifuddin sendiri, kata Yusril, tidak mengetahui adanya notulensi tersebut. Selain itu, Yusril bilang ada tiga saksi rapat yang mengatakan bahwa Syarifuddin tidak pernah menawarkan potongan hutang tersebut.
“Jadi harapan saya kembali keberanian hakim menegakkan hukum. Berani enggak menyatakan Syafruddin tidak bersalah dan dibebaskan. Karena tidak ada bukti apapun,” tutup dia.
Syafruddin dituntut 15 tahun hukuman penjara dan didenda Rp1 miliar subsibdair 6 bulan kurungan. Syafruddin dituntut karena diyakini melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang No 31 tahun‎ 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Ia dituntut karena melakukan korupsi bersama-sama dengan Dorodjatun, Sjamsul, dan istrinya Itjih Nursalim. Adapun total kerugian negara akibat perlakuan Syafrufdin itu mencapai Rp4,58 triliun.