Cnnindonesia.com – Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) telah menjadi krisis lingkungan tahunan di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.
Kondisi cuaca kering akibat El Nino pada 2015 menjadikan kebakaran saat itu menjadi yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Ketika itu sekitar 2,6 juta hektar lahan terbakar antara Juni hingga Oktober.
Kebakaran itu banyak membakar lahan gambut kaya karbon dan membuat jutaan orang di Asia Tenggara terpapar kabut beracun, yang setara dengan tiga kali lipat emisi gas rumah kaca tahunan di Indonesia.
Masifnya karhutla di Indonesia sejak era kepemimpinan Soeharto di 1997 hingga Joko Widodo di 2015 menjadi alasan bagi sejumlah warga negara untuk melayangkan gugatan (citizen law suit) di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pada 16 Agustus 2016.
Para penggugat mengaku sebagai warga negara yang dirugikan karhutla yakni Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin, Mariaty.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu A Pradana, mengatakan karhutla yang terus berulang merupakan akibat dari belum berjalannya proses penegakan hukum, yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apalagi selama ini mereka yang diseret ke meja hijau hanya sebatas orang suruhan, dna bukan entitas korporasi sebagai penguasa lahan. Ada kecenderungan perusahaan besar seolah tak bisa tersentuh hukum.
Menurutnya, dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada polisi menjerat badan hukum atau korporasi dalam tindak pidana karhutla.
“Kami selalu dorong polisi gunakan UU Nomor 32/2009. Kalau pakai undang-undang itu di wilayah konsesi maka korporasi pemegang konsesi yang bertanggung jawab. Dalam undang-undang itu dikenal mekanisme pertanggungjawaban mutlak,” kata Wahyu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Sabtu (25/8).
Wahyu menengarai, penyebab mandulnya penerapan pasal dalam regulasi itu adalah ada kekuatan besar di balik korporasi, yang diduga terlibat dalam karhutla menghalangi aparat. Menurutnya, penegakan hukum terhadap korporasi hanya bisa dilakukan bila negara memiliki keberanian untuk bertindak tegas.
“Kerasnya perlawanan korporasi bisa dicek tahun lalu 2017 dan 2016, tim dari pusat juga diadang di lapangan,” ujar Wahyu.
Wahyu mengaku khawatir bila korporasi tak kunjung dijerat maka persoalan karhutla akan terus terjadi di hari mendatang. Menurutnya, hal itu sudah terlihat saat ini di mana karhutla kembali terjadi di sejumlah provinsi di Pulau Kalimantan dan Sumatera.
“Itu yang kami khawatirkan kalau (tidak ada) penegakan hukum pada korporasi maka kejadian sama terulang, termasuk sekarang di Kalimantan Barat titik api cukup tinggi,” katanya.