CNNIndonesia.com – Anggota Komisi IX DPR RI, Amelia Anggraini, mendesak pemerintah untuk merevisi Undang-undang tentang ketenagakerjaan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Sebabnya, UU yang ada selama ini dinilai masih belum maksimal dalam memberikan perlindungan bagi TKI, terutama ketika berhadapan dengan hukum.
“Faktanya, banyak calon TKI yang jadi korban penipuan, eksploitasi, dan kekerasan seksual,” kata Amelia dalam pernyataan yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (24/2).
Lebih jauh, Amelia juga melihat masih banyak persoalan lainnya yang dihadapi TKI seperti di antaranya penempatan penampungan yang tidak manusiawi, ketidakjelasan waktu penempatan, dan jerat hutang bagi pekerja yang batal berangkat ke luar negeri.
Namun sayangnya, ujarnya, UU yang ada sekarang belum bisa memberikan perlindungan kepada TKI ketika menghadapi semua permasalahan tersebut.
Amelia mencontohkan misalnya UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri. UU tersebut, katanya, belum mengatur secara komprehensif aturan-aturan perlindungan memadai agar hak-hak bisa didapatkan TKI mulai dari sebelum penempatan, masa penempatan hingga pascapenempatan.
“Alhasil ketika pekerja Indonesia berhadapan dengan hukum di negara tujuan, UU ini belum mampu memberikan perlindungan maksimal,” katanya.
Selain persoalan UU, Amelia juga menilai perlu adanya aturan yang bisa mendukung pelaksanaan fungsi dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Dia mencontohkan ketika BNP2TKI melakukan mediasi saat terjadi sengketa antara TKI dengan perusahaan penyalur TKI swasta (PPTKIS), rekomendasi yang diberikan seringkali diabaikan oleh perusahaan penyalur. “Oleh karena itu, perlu penguatan aturan dan sanksi tegas bagi PPTKIS yang mengabaikan rekomendasi BNP2TKI,” ujarnya.
Selain itu, dia berharap pihak Kementerian Ketenagakerjaan menguatkan instrumen peraturan sebagai acuan BNP2TKI dalam menjalankan peran dan fungsinya. Agar, ujarnya, pelayanan terhadap TKI tidak tumpang tindih antar kedua lembaga.
Sebelumnya, Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) menggugat pasal 85 ayat 1 Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Sidang perdana uji materi undang-undang tersebut digelar Selasa (23/2) kemarin.
Ketua SPILN, Imam Ghozali mengatakan Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) UU 39/2004 tentang PPTKILN mengatur mengenai TKI yang memiliki hak mengajukan musyawarah dan meminta bantuan instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
Namun, instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, di antaranya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) belum maksimal. “Dirasakan belum memberikan perlindungan dan kepastian hukum,” kata Imam dalam saran pers yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa.
Kondisi ini, kata Imam karena dalam Undang-undang PPTKILN tidak diatur mengenai waktu penyelesaian dan produk hukum penyelesaian oleh BNP2TKI.
Selain itu tidak ada pengaturan bagaimana proses penyelesaian selanjutnya agar sengketa atau perselisihan TKI dengan PPTKIS mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum, jika upaya yang difasilitasi oleh BNP2TKI tidak mencapai kata mufakat. “Sehingga kami menilai ketentuan Pasal 85 ayat (2) UU No. 39/2004 tentang PPTKILN, belum memberikan kepastian hukum,” katanya.
(Kongres Advokat Indonesia)