Cnnindonesia.com – Manajer Umum General Affairs & HRD PT Gajah Tunggal Ferry Lawrentius Hollen mengaku pernah diminta membawa dokumen berupa surat kuasa dari pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim di Singapura pada tahun 2004.
Ferry diminta langsung oleh mantan Direktur Keuangan PT Gajah Tunggal Mulyati Gozali untuk membawakan dokumen tersebut ke Indonesia. Hal ini disampaikan Ferry saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas Bank Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (30/7).
“Waktu itu saya sedang berobat ke Singapura dan ditelepon sekretaris Ibu Mulyati untuk bawa dokumen ke Jakarta. Saya diminta ke Bandara Changi, tiket dan dokumen sudah disiapkan,” ujar Ferry.
Dokumen tersebut, lanjut Ferry, diserahkan oleh seorang perempuan dalam amplop tertutup. Begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Ferry langsung diminta menuju kantor BPPN untuk menemui Mulyati. “Saya diminta bawa surat itu ke kantor BPPN karena sudah ditunggu Ibu Mulyati,” katanya.
Ferry mengaku tak tahu isi dokumen tersebut. Saat dokumen dibuka, ia hanya diminta menandatangani sebagai bukti karena telah menerima dokumen tersebut. “Setelah dibuka saya ikut menandatanganinya sebagai saksi,” ucap Ferry.
Belakangan, Ferry mengetahui dokumen itu berupa surat kuasa dari Sjamsul kepada istrinya Itjih Nursalim untuk menyelesaikan kewajiban perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) atau perjanjian penyelesaianBLBI dengan jaminan aset obligor dan pembayaran uang tunai. Sjamsul adalah salah satu obligor yang menerima kucuran BLBI.
“Saya ditunjukin sama penyidik surat kuasanya. Saya tahu di penyelesaian akhir,” tuturnya.
Dalam perkara ini, Syafrruddin didakwa bersama Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan Dorodjatun Kunjorojakti, Sjamsul, dan istrinya Itjih. Syafruddin diduga memperkaya Sjamsul selaku pemegang saham pengendali BDNI sebesar Rp4,58 triliun.
Sjamsul sendiri disebut tidak memenuhi perjanjian MSAA karena tak mengungkap utang petambak kepada BDNI sebesar Rp4,8 triliun yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) yang juga milik Sjamsul.
Utang petambak kepada BDNI itu tergolong kredit macet dan tak bisa ditagih, sehingga Sjamsul harusnya tak mendapatkan release and discharge atau jaminan pembebasan dari tuntutan hukum kepada obligor yang telah memenuhi kewajiban utang pada BPPN.